Maka yang terjadi kemudian adalah “perang” yang aneh. Kedua pihak merasa diri benar. “Penjajah ranjang” ngotot, ngeyel. “Pemilik ranjang” yang sesungguhnya tak kurang pula ngototnya, ngeyelnya.
“Kepala batu” bertemu “kepala batu”. Bisalah dibayangkan bagaimana hasilnya. Apalagi, tak ada “Pastor Pengawas” yang bisa menengahi dan menunjukkan “kebenaran”.
Poltak sama sekali tak menikmati perdebatan antar “kepala batu” semacam itu. Sebaliknya, kenikmatannya membaca di media online dan media sosial justru rusak tak berbentuk.
Poltak masjgul. Tak tahu sampai kapan pola debat bermutu rendah semacam itu akan berlangsung. Sangat mungkin untuk selamanya.
Tapi, mendadak seperti kilat menyambar, di tengah ketak-nikmatan membaca debat “kepala batu” di media online dan media sosial, Poltak menemukan jawaban, mengapa Pastor Pengawas dulu tahu persis dialah “Sang Penjajah Ranjang”.
Tentu tak perlu diberitahukan lagi apa jawabannya. Sebab, di dunia ini Poltak lah orang terakhir yang menemukan jawabannya.(*)
[NO TEXT-LITTERING, PLEASE]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H