Ada kalanya, tanpa sadar, tiba-tiba seseorang sudah tidur di ranjang tetangga sebelah. Tidak sendirian, tapi bersama tetangga pemilik ranjang.
Ketika ada seseorang lainnya mengingatkan, bahwa dia telah menjajah ranjang tetangga, dia malah marah. Berkeras mengatakan bukan dia, tapi tetangga itulah yang telah menjajah ranjangnya.
Poltak pernah mengalaminya. Dulu, sudah lama sekali, tahun 1974, ketika dia masih siswa SMP Seminari di Pematang Siantar.
Di sekolah calon pastor Katolik itu, seluruh siswa SMP, disebut Prima, Secunda, dan Tertia, tidur dalam sebuah barak luas di lantai dua. Barak itu penuh dengan seratusan ranjang kayu kecil beralas tikar, yang disusun empat baris, pada posisi kepala di arah barat. Barak siswa SMA , disebut Gramatica, Sintaxis, dan Poesis, begitu juga polanya.
Pada suatu dini hari yang melelapkan, tiba-tiba Poltak dibangunkan oleh Pastor Pengawas. “Hei, Poltak, pindah ke ranjangmu sendiri,” perintahnya dengan suara pelan tapi tegas. Antara bangun dan tidur, Poltak melihat di sebelah kiri, tetangganya sedang tertidur pulas.
“Tidak! Ini ranjangku. Dia yang harus pindah,” Poltak membantah, kesal. “Tidak! Kamu yang harus pindah. Itu bukan ranjangmu.” Pastor Pengawas tetap pada pendiriannya. “Kok aku yang harus pindah. Ini kan ranjangku sendiri.” Poltak bersungut-sungut. Sambil dongkol, pindah juga dia ke ranjang kosong di sebelah kanannya. Lalu, setelah itu, diam, lelap lagi.
Subuh hari, ketika Pastor Pengawas membangunkan seluruh siswa dengan tepuk tangan keras, Poltak menemukan dirinya benar-benar berbaring di ranjang sendiri.
Poltak sungguh heran, tak habis pikir. Bagaimana cara Pastor Pengawas tahu persis dialah penjajah ranjang tetangga. Bukan tetangga yang menjajah ranjangnya. Tapi, bersamaan dengan datangnya pagi, serta ritual rutin seminaris, Poltak segera melupakan persoalan itu.
Barulah sekarang ini dia teringat lagi peristiwa itu. Empatpuluh dua tahun setelah kejadiannya. Dipicu oleh perdebatan antar netizen di media online dan media sosial seputar perilaku politik para tokoh yang sedang “menjajakan diri” untuk menjadi Cagub DKI pada Pilkada 2017 mendatang.
Tiba-tiba saja Poltak menemukan kenyataan banyak netizen menjadi analis politik, kendati tak punya kompetensi politik. Menjadi analis hukum, kendati tak punya kompetensi hukum. Menjadi analis sistem perbankan, kendati tak punya kompetensi perbankan. Menjadi analis ekonomi daerah, kendati tak punya kompetensi ekonomi.
Poltak menemukan gejala serupa “penjajahan ranjang”. Melompat naik ke “ranjang tetangga”. Begitu banyak netizen keluar dari wilayah kompetensinya, melompat masuk secara “paksa” ke wilayah kompetensi netizen lain.
Maka yang terjadi kemudian adalah “perang” yang aneh. Kedua pihak merasa diri benar. “Penjajah ranjang” ngotot, ngeyel. “Pemilik ranjang” yang sesungguhnya tak kurang pula ngototnya, ngeyelnya.
“Kepala batu” bertemu “kepala batu”. Bisalah dibayangkan bagaimana hasilnya. Apalagi, tak ada “Pastor Pengawas” yang bisa menengahi dan menunjukkan “kebenaran”.
Poltak sama sekali tak menikmati perdebatan antar “kepala batu” semacam itu. Sebaliknya, kenikmatannya membaca di media online dan media sosial justru rusak tak berbentuk.
Poltak masjgul. Tak tahu sampai kapan pola debat bermutu rendah semacam itu akan berlangsung. Sangat mungkin untuk selamanya.
Tapi, mendadak seperti kilat menyambar, di tengah ketak-nikmatan membaca debat “kepala batu” di media online dan media sosial, Poltak menemukan jawaban, mengapa Pastor Pengawas dulu tahu persis dialah “Sang Penjajah Ranjang”.
Tentu tak perlu diberitahukan lagi apa jawabannya. Sebab, di dunia ini Poltak lah orang terakhir yang menemukan jawabannya.(*)
[NO TEXT-LITTERING, PLEASE]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H