Kegagalan program “swasembada beras berbasis sawah” berakar pada “jebakan efisiensi teknis”. Ini upaya peningkatan produktivitas padi per hektar melalui eksploitasi potensi paket “ teknologi intensifikasi lama” (benih, pupuk, irigasi). Peningkatan produksi disandarkan lebih pada faktor dorongan perubahan efisiensi teknis, bukan pada adopsi inovasi/teknologi baru. Berbagai perlakuan maksimisasi efisiensi teknis budidaya lantas ditempuh.
“Jebakan” itu didasari anggapan batas pertumbuhan belum tercapai. Padahal sebenarnya sudah mentok, batas tertinggi aktualisasi potensi sudah tercapai. Buktinya laju peningkatan produktivitas padi sawah sudah melandai 45 tahun terakhir. Pada periode 1970-1980 peningkatan produktivitas rata-rata 3.3% per tahun. Lima tahun terakhir (2010-2015) anjlok menjadi 0.8% per tahun.
Dari tiga komponen paket “teknologi intensifikasi”, benihlah kunci utama produktivitas. Jika mutu benih rendah maka produktivitas usahatani pasti rendah, sekalipun pemupukan dan irigasi memadai. Maka kunci swasembada beras adalah perakitan dan adopsi varietas benih padi unggul produksi tinggi. Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984 berkat adopsi inovasi varietas-varietas padi unggul produksi tinggi rakitan IRRI, antara lain IR 5 dan IR 8 (1966), IR 36 (1976) dan IR 42 (1980).
Peran benih sebagai pemicu peningkatan produktivitas memang luar biasa. Bukti terbaru, aplikasi benih padi unggul rakitan petani anggota AB2TI ( 12 lokasi, Jawa) tahun 2014-2015 mampu mendongkrak produktivitas ke rata-rata 10.6 ton GKP/ha, 56.0% di atas capaian petani sekitar.
Masalahnya proses inovasi benih padi unggul di Indonesia sangat lamban. Butuh 14 tahun untuk menghasilkan varietas unggul baru Ciherang (2000), setelah rilis IR 64 tahun 1986. Lalu perlu 9 tahun lagi untuk menghasilkan varietas unggul baru Inpari 13 (2009). Masa pencapaian titik tertinggi adopsi varietas juga sangat lama, 10-15 tahun.
Bisa disimpulkan inovasi benih unggul dalam 45 tahun terakhir cenderung stagnan. Terbukti dari pelandaian laju kenaikan produktivitas padi sawah dari 3.3% (1970-1980) menjadi 0.8% per tahun (2010-2015) dan padi ladang dari 2.7% menjadi 0.0% per tahun.
Saatnya Revolusi Benih
Jalur paling strategis menjamin swasembada beras 2035 adalah revolusi benih. Kejayaan varietas unggul inbrida lama, seperti IR64 dan Ciherang, sebagai basis swasembada beras sudah lewat. Saatnya melompat ke generasi baru benih unggul hibrida dan transgenik produksi tinggi.
Arti penting revolusi benih sudah dibuktikan agribisnis jagung Amerika Serikat (AS). Pada era benih inbrida (sampai 1936) produktivitasnya hanya 1.65 ton per ha, pada era benih hibrida (1937-1955) naik menjadi 2.54 ton/ha, dan pada era benih transgenik (1956-kini) melonjak ke 10.16 ton/ha.
Indonesia memerlukan revolusi benih padi untuk pemenuhan konsumsi beras 305.6 juta jiwa penduduk tahun 2035. Tahun itu harus tersedia 42.48 juta ton beras (139 kg/kapita), atau 46.73 juta ton termasuk 10% stok pemerintah, atau setara 89.86 juta ton GKG.