Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

"Ketika Ilalang Bermalai Padi"

15 April 2016   13:56 Diperbarui: 15 April 2016   14:12 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kegagalan program “swasembada beras berbasis sawah” berakar pada  “jebakan efisiensi teknis”.   Ini upaya peningkatan produktivitas padi per hektar melalui eksploitasi potensi paket “ teknologi intensifikasi lama” (benih, pupuk, irigasi).  Peningkatan produksi disandarkan lebih pada faktor dorongan perubahan efisiensi teknis, bukan pada  adopsi inovasi/teknologi baru.  Berbagai perlakuan maksimisasi efisiensi teknis budidaya lantas ditempuh.   

“Jebakan” itu didasari anggapan batas pertumbuhan belum tercapai.  Padahal sebenarnya sudah mentok, batas tertinggi aktualisasi potensi sudah tercapai.  Buktinya  laju peningkatan produktivitas padi sawah sudah melandai 45 tahun terakhir.  Pada periode 1970-1980 peningkatan produktivitas rata-rata 3.3% per tahun. Lima tahun terakhir (2010-2015) anjlok  menjadi 0.8% per tahun.

Dari tiga komponen  paket “teknologi intensifikasi”, benihlah kunci utama produktivitas. Jika mutu benih rendah maka produktivitas usahatani pasti rendah, sekalipun pemupukan dan irigasi memadai.  Maka kunci swasembada beras adalah perakitan dan adopsi varietas benih padi unggul produksi tinggi.  Indonesia mencapai swasembada beras tahun 1984 berkat  adopsi inovasi varietas-varietas padi unggul produksi tinggi rakitan IRRI, antara lain   IR 5 dan IR 8 (1966),   IR 36 (1976) dan  IR 42 (1980). 

Peran benih  sebagai pemicu peningkatan produktivitas memang  luar biasa.  Bukti terbaru,  aplikasi benih padi unggul rakitan  petani anggota AB2TI  ( 12 lokasi, Jawa) tahun 2014-2015 mampu  mendongkrak produktivitas ke rata-rata 10.6 ton GKP/ha,  56.0% di atas capaian petani sekitar.  

Masalahnya proses inovasi benih padi  unggul di Indonesia sangat  lamban.  Butuh  14 tahun untuk menghasilkan varietas  unggul baru Ciherang (2000), setelah rilis IR 64 tahun 1986.   Lalu perlu  9 tahun lagi untuk menghasilkan varietas unggul  baru Inpari 13 (2009).   Masa pencapaian titik tertinggi adopsi varietas juga sangat lama, 10-15 tahun.

Bisa disimpulkan inovasi benih unggul dalam 45 tahun terakhir cenderung stagnan.  Terbukti dari pelandaian laju kenaikan produktivitas padi sawah dari 3.3% (1970-1980) menjadi 0.8% per tahun (2010-2015) dan padi ladang dari 2.7% menjadi 0.0% per tahun. 

 

Saatnya Revolusi Benih

Jalur paling strategis menjamin swasembada beras 2035 adalah revolusi benih. Kejayaan varietas unggul inbrida lama,  seperti IR64 dan Ciherang,  sebagai basis swasembada beras sudah lewat.  Saatnya melompat ke generasi baru benih unggul hibrida dan transgenik produksi tinggi.

Arti penting revolusi benih sudah dibuktikan agribisnis jagung Amerika Serikat (AS).  Pada era benih inbrida (sampai 1936) produktivitasnya hanya 1.65 ton per ha, pada era benih hibrida (1937-1955) naik menjadi 2.54 ton/ha, dan pada era benih transgenik (1956-kini) melonjak ke  10.16 ton/ha.

Indonesia memerlukan revolusi benih padi untuk  pemenuhan konsumsi  beras 305.6 juta jiwa penduduk tahun 2035.  Tahun itu harus tersedia 42.48 juta  ton beras (139 kg/kapita),  atau 46.73 juta ton termasuk 10% stok pemerintah, atau  setara 89.86  juta ton GKG.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun