Bernafsu menjatuhkan Ahok? Serang dia pada titik terlemahnya. Bukan pada bidang terkuatnya.
Sederhananya, kalau dalam sepakbola, jangan berupaya menjatuhkannya dengan teknik “tabrak ” (dorongan badan). Kuda-kudanya terlalu kuat. Bisa-bisa, “penabrak” sendiri yang jatuh, bukan Ahok.
Tapi gunakanlah teknik “tebas” (tackling). Ahok pasti jatuh. Sebab kelemahan Ahok ada di pijakannya. Bukan di kuda-kudanya.
Seperti apa teknik “tabrak lari” itu? Contoh aktualnya adalah peniupan isu SARA, korupsi, dan tabiat buruk. Sudah terbukti teknik ini tak mempan. Ini bidang kekuatan Ahok.
Faktanya, Ahok itu Tionghoa Kristen dan dia Gubernur DKI Jakarta sekarang. Berarti ketionghoaan dan kekristenan pada Ahok telah menjadi kekuatan. Jadi, untuk apa meniupkan isu SARA?
Faktanya, Ahok itu belum pernah tersangkut perkara korupsi. Sampai sekarang berjibaku memerangi korupsi di lingkungan Pemerintah DKI Jakarta. Maka Ahok adalah kekuatan anti-korupsi. Jadi, untuk apa meniupkan isu korupsi. Bisa-bisa, dan sudah terjadi, peniupnya sendiri yang akan tersangkut perkara.
Faktanya, Ahok itu sudah kasar dan tanpa tedeng aling-aling sejak sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dan Ahok tetap seperti itu sampai sekarang. Dengan kekasarannya dia sukses menggerakkan roda pemerintahan yang bersih. Kekasarannya telah menjadi kekuatannya. Jadi, untuk apa meniupkan isu tabiat buruk? Bisa-bisa, dan sudah terjadi, peniupnya sendiri yang terbongkar tabiat buruknya.
Lalu, seperti apa teknik “tebas” itu? Begini. Tadi sudah disinggung, kelemahan Ahok itu bukan pada kuda-kuda, tapi pada pijakannya. Maksudnya di sini pijakan logika.
Maka seranglah Ahok pada pijakan logikanya. Buktikan bahwa logikanya ngawur. Kasarnya, buktikan bahwa Ahok itu “sesat pikir”. Kalau terbukti, nah, siapa warga DKI yang sudi punya Gubernur “Sesat Pikir”?
Mau contoh? Ambil satu kasus terbaru yaitu rencana penghapusan “3 in 1”. Coba periksa bagaimana logika Ahok di situ.
Caranya sederhana. Tentukan Pernyataan 1 (P1) dan Pernyataan 2 (P2) dulu, lalu tarik Kesimpulan (K).
P1: Pemberian obat penenang secara sembarang pada anak balita adalah bentuk kekerasan pada anak.
P2: Praktek 3 in 1 mendorong joki 3 in 1 memberi obat penenang pada anak balita sebagai cara mendapatkan belas kasihan dari pengendara.
K: 3 in 1 memicu terjadinya kejahatan pemberian obat penenang kepada anak balita.
Implikasi kebijakan, berdasar logika itu, program 3 in 1 harus dihapuskan dan diganti dengan program lain yaitu, dalam kasus ini, Electronic Pricing Road (ERP).
Logika Ahok itu “sesat”. Tahu di mana letak “sesat pikir”nya? Ini dia: hubungan antara kejadian “praktek 3 in 1” dan kejadian “pemberian obat penenang pada anak balita” bukan hubungan sebab-akibat (kondisional) yang bersifat unik.
Maksudnya, pola hubungan serupa itu terjadi juga di ruang dan waktu yang lain di Jakarta. Misalnya, pengemis di area traffic light memberi obat penenang pada anak balita untuk memancing belas kasihan dari pengendara yang berhenti.
Gejala “pengemis menggendong anak balita mabok obat penenang” bahkan lebih parah. Terjadi sepanjang hari di banyak lokasi di seluruh Jakarta. Tak hanya di ruas jalan tertentu (3 in 1) pada jam tertentu.
Maka, jika Ahok konsisten, seluruh traffic light harusnya dihilangkan untuk diganti dengan, misalnya, under-pass atau fly-over. Tapi itu tak dilakukan, bukan?
Tapi memang harus hati-hati juga dengan cara pikir khas Ahok, saya sebut itu “Ahokian”, yang sebenarnya tak logis, alias “sesat”, tapi kebenarannya sulit dibantah. Misalnya, pada kasus rencana penghapusan 3 in 1 itu. Benar belaka bahwa program itu harus diganti karena tidak efektif mengatasi kemacetan. Jelas di sini, “ pemberian obat penenang pada anak balita” bukan alasan sesungguhnya.
Tapi hebatnya Ahok, dia berhasil menggiring opini publik hingga terpumpun ke soal “pemberian obat penenang pada anak balita sebagai dampak 3 in 1”. Ini isu yang menyerap emosi dan empati, sehingga publik setuju saja 3 in 1 dihapus. Lupa mempertanyakan efektivitas, dampak negatif, dan siapa yang akan diuntungkan ERP.
Pola-pola “sesat pikir” seperti pada kasus 3 in 1 bisa diperiksa pada banyak gagasan dan kebijakan Gubernur Ahok. Misalnya pada gagasannya terkait peredaran minuman keras, pelacuran, dan penggusuran Kalijodo.
Namun ada syaratnya agar bisa menemukan kesesatan logika Ahok. Niatnya harus bersih. Jangan ada hawa kebencian dan motif menjelekkan Ahok secara personal. Sebab kalau begitu, bisa-bisa justru Anda sendiri yang terpeleset sesat pikir.
Oh, ya. Nasihat ini ditujukan khusus kepada mereka yang mengklaim dirinya sebagai anggota “Barisan Anti-Ahok”. Ingat, untuk para Anti-Ahok, bukan para “Ahok Haters”. Sebab tak ada akal sehat di kepala yang disesaki benci.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H