Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

30 Tahun Berlalu dan Sebuah Surga Hilang (2)

1 April 2016   14:41 Diperbarui: 1 April 2016   15:22 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

(Sebuah Sabtu siang yang kelabu mendung, Januari 1997 di Portibi, aku berdiri lagi di puncak bukit Partalinsiran, menyapukan pandanganku tigaratus enampuluh derajat, tapi tak kutemukan lagi pemandangan Januari 1967. Tigapuluh tahun, rupanya, adalah waktu yang diperlukan untuk menghilangkan sebuah surga kecil, surga milik kami, aku dan teman-temanku.)

Tatapan mataku memaku ke arah barat, ke tempat dahulu memanjang sabuk hijau pepohonan makadamia, melindungi ribuan hektar hamparan pepohonan pinus, dengan ribuan pucuk runcing menombak langit, seperti mata ribuan tombak barisan bala tentara Sparta.  

Tak lagi ada pemandangan itu, juga tak lagi ada kepak sayap perkutut jantan menggoda betina yang bernaung di dalam rimbunan makadamia. Ribuan hektar perbukitan itu kini telah menjadi hutan eukaliptus yang rakus air tanah, yang tak ada setitikpun indahnya di mataku.  Sungguh, tak ada indahnya, kecuali untuk pabrik bubur kertas yang berdiri pongah di hulu Sungai Asahan, jauh, sangat jauh di selatan Portibi sana.

Aku memandang jauh ke selatan, menatap ke satu titik kota kecil, Porsea, muara Sungai Asahan, tempat di mana pabrik bubur kertas pongah itu berdiri.   Pabrik itu datang ke Portibi dalam rupa modal adidaya, yang dalam sekejap telah melenyapkan ribuan hektar pepohonan pinus, menyulapnya menjadi ribuan hektar pepohonan eukaliptus, untuk kemudian memamahnya  dalam sejap menjadi lautan bubur kertas.

Dadaku terasa sesak dan tambah sesak ketika kualihkan pandangan ke arah timur, ke arah perbukitan padang rumput,   tempat aku dan kawan-kawanku dulu menambatkan dan menggembalakan kerbau, sambil memetik buah-buah liar atau juga umbi-umbi liar untuk mengganjal perut kami. 

Tak ada lagi padang rumput, tak ada lagi kerbau tertambat di sana, tapi hamparan kebun jahe yang semakin meluas seiring godaan modal yang rajin datang dari kota.  Perbukitan hijau itu bukan lagi padang penggembalaan umum, tapi sudah menjadi ladang jahe yang digarap  tangan-tangan modal yang merambah Portibi.

Dalam tigapuluh tahun, modal telah berkunjung ke Portibi, lalu membumi-hanguskan surga kecilku itu untuk kemudian membangun kerajaan kapitalisme yang kuasa di situ.   Bukan hanya alam fisik surgaku yang diluluh-lantakkan, tetapi juga alam sosial yang dulu mememeliharanya. Kini tak ada lagi komunitas bersolidaritas mekanis di Portibi, karena modal sudah mengajarkan arti penting hak milik dan surplus, seraya membelah dua komunitasku menjadi mereka yang pemilik dan mereka yang  penumpang.

Mereka yang pemilik adalah kelompok marga perintis desa, kelompok marga raja, yang mengklaim diri dalam nama hukum adat sebagai pemilik seluruh tanah Portibi dan sekitarnya.  Mereka yang penumpang adalah kelompok marga pengikut, kelompok marga penumpang, yang mendapat tumpangan untuk hidup di Portibi dari kemurahan kelompok marga raja. 

Sebelum modal campur tangan, di antara marga raja dan marga penumpang, hanya ada harmoni yang indah. Setelah modal datang menusuk Portibi, harmoni menjadi pudar berganti wujud menjadi seteru antar warga.   Marga raja tak perlu lagi marga penumpang, karena surplus yang ditawarkan modal lebih menarik dan lebih penting dari persaudaraan dan tetangga sebelah rumah.  Tak ada lagi tanah untuk marga penumpang, karena telah diserahkan marga raja kepada pemilik modal, ditukarkan dengan sekantong uang yang disodorkan para pemilik modal itu.  Marga penumpang di Portibi terusir dari tanah umum, terisolasi di dusun sendiri, terampas hak-hak hidupnya.

Maka yang terasa di Portibi kini adalah hawa seteru, kebencian, kemarahan, dan curiga.  Aku sungguh merasakannya pada hari pertama kembali lagi ke Portibi, setelah sebuah perantauan panjang di tanah Jawa.  Tak ada lagi sapaan hangat bersahabat, tak ada lagi tawa tulus, tak ada lagi tatapan ramah.   Portibi terbelah dua, dari kampung sampai gereja. 

Gereja kini bukan lagi tempat saling-bicara antar sesama warga dan antara warga dengan Tuhan.   Tapi telah menjadi tempat bicara antara dua kelompok warga dengan Tuhan-nya masing-masing.  Dua kelompok dengan doa yang bertolak-belakang sehingga, aku pikir, Tuhan akan pusing jika terlalu lama singgah di Portibi.

Aku menengadah menatap awan kelabu sendu,  tak memantulkan segarispun aura surga kecil ke pelupuk mataku.   Ketika itulah, kurasakan dua aliran hangat di kedua belah pipiku.  Aku menangis.  Sungguh, aku menangis di sini, di puncak bukit Partalinsiran, di kitaran panorama yang tak lagi memelukku ramah seperti di masa kecilku.

Tapi bukan kehilangan surga kecilku itu benar yang telah mengalirkan air mata dari kedua pelupuk mataku.  Melainkan sebuah kesadaran, ketika sanak-saudaraku sesama marga penumpang menderita di sini, aku hidup nyaman di tanah rantau nun jauh di selatan sana, dan tak pernah menyerukan satu kata apapun untuk melawan modal yang telah meluluh-lantakkan surga kecilku.(*)

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun