Aku menengadah menatap awan kelabu sendu, tak memantulkan segarispun aura surga kecil ke pelupuk mataku.  Ketika itulah, kurasakan dua aliran hangat di kedua belah pipiku.  Aku menangis.  Sungguh, aku menangis di sini, di puncak bukit Partalinsiran, di kitaran panorama yang tak lagi memelukku ramah seperti di masa kecilku.
Tapi bukan kehilangan surga kecilku itu benar yang telah mengalirkan air mata dari kedua pelupuk mataku. Â Melainkan sebuah kesadaran, ketika sanak-saudaraku sesama marga penumpang menderita di sini, aku hidup nyaman di tanah rantau nun jauh di selatan sana, dan tak pernah menyerukan satu kata apapun untuk melawan modal yang telah meluluh-lantakkan surga kecilku.(*)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H