Maka, bagiku dan teman-temanku sesama anak Portibi, Sabtu adalah hari yang paling menyenangkan. Pagi hari ibu atau nenek kami akan pergi ke Tigaraja, lalu siangnya pulang membawa oleh-oleh jajanan pasar yang selalu enak di lidah. Ada klepon, gandasturi, onde-onde, ongol-ongol, bugis, kue lapis, goreng pisang, pisang ambon, telur bebek rebus, pecal, dan kerupuk warna-warni. Inilah yang kesenangan Sabtu yang selalu aku dan teman-temaku nantikan.
Derum kasar mesin otobus spontan mengalihkan pandanganku ke arah barat, tepat ke mulut jalan dusun. Sebuah oplet tua berhenti di sana, baru tiba dari Tigaraja, menurunkan sejumlah penumpang, salah seorang dari mereka adalah nenekku. Kesenangan Sabtu telah tiba. Maka tanpa aba-aba, tanpa rem, aku berlari terbang turun menyongsong kesenanganku.
Sebuah Sabtu siang yang kelabu mendung, Januari 1997 di Portibi, aku berdiri lagi di puncak bukit Partalisiran, menyapukan pandanganku tigaratus enampuluh derajat, tapi tak kutemukan lagi pemandangan Januari 1967. Tigapuluh tahun, rupanya, adalah waktu yang diperlukan untuk menghilangkan sebuah surga kecil, surga milik kami, aku dan teman-temanku.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H