Menurut cerita turun-temurun, di hutan belantara itu hidup seekor harimau sakti. Konon harimau itu bisa martondung, menghilang di balik selembar daun ilalang. Konon lagi, hanya orang-orang yang punya indera keenam bisa melihatnya.
Konon, sekali lagi konon, jika suatu saat kita mujur bersua dengan harimau itu sedang menyantap hewan buruannya, mintalah sebagian, pasti akan diberikan. Asalkan kita punya nyali macan juga untuk minta secara sopan: ”Ompung, tolong sisakan sedikit untukku”.
Mataku menatap lekat punuk Bukit Barisan yang paling tinggi. Itulah gunung Simanuk-manuk yang mistis. Konon di puncaknya yang selalu berselimut awan itu bersemayam Namartua Simanuk-manuk. Itulah roh penguasa seluruh lembah di bawahnya, termasuk dusun Portibi.
Persis di dasar barisan punuk itu ada sebuah ngarai bernama Jampalan, yang terbelah dua oleh aliran sebuah sungai, yang mengalir jauh hingga bermuara di bibir pantai Danau Toba.
Ngarai Jampalan adalah padang penggembalaan kerbau di musim kemarau. Ngarai yang selalu basah, sehingga pada musim paling kering sekalipun selalu tersedia rumput hijau dan air minum untuk kerbau. Pada pagi hari, aku dan teman-temanku akan pergi melepas kerbau ke sana, untuk kemudian menjemputnya di sore hari.
Dusun Portibi dan ngarai Jampalan dipisahkan oleh hamparan perbukitan padang ilalang yang luas. Saat musim hujan, padang ilalang itu menyediakan hijauan segar untuk kerbau. Aku dan teman-temanku cukup menggembalakan kerbau di perbukitan itu. Sementara ngarai Jampalan kami biarkan pulih menumbuhkan rumput lagi untuk pakan kerbau pada musim kemarau yang akan menyusul.
Seekor perkutut berkepak keras terbang dari kebun belakang dusun ke arah barat. Itu kepakan perkutut jantan, maklumat kejantanan untuk memikat betina. Tatapan mataku beralih mengikuti gerak terbang perkutut itu menyeberangi jalan raya lintas Sumatera, sebelum kemudian menyelinap masuk ke dalam rerimbunan pepohonan makadamia.
Pepohonan makadamia itu, tempat aneka burung bersarang, tegak membentuk sabuk hijau anti api sepanjang jalan raya setempat. Tajuk makadamia yang rimbun padat tak mengijinkan cahaya matahari menyentuh tanah, sehingga dasar sabuk itu bersih dari tetumbuhan. Maka, di balik sabuk itu, amanlah terlindung hamparan maha luas hutan pinus, tempat warga Portibi mencari ranting kering untuk dijadikan kayu bakar.
Burung perkutut terbang kembali. Kali ini melayang, tanpa kepakan, lurus ke arah utara, lalu menghilang di balik sebuah bukit kecil di utara bukit Partalinsiran.
Aku tinggikan horison pandanganku jauh ke arah utara, membayangkan sebuah peta mental, dan mengukur jarak Portibi dengan sebuah kota kecil di sana, yakni Parapat yang keindahannya telah santer ke manca negara.
Di Parapat ada desa Tigaraja, ajang pekan mingguan, tempat yang paling penting bagiku dan anak-anak Portibi lainnya kalau bicara soal Parapat. Setiap hari Sabtu, hari pasaran Tigaraja, kaum ibu Portibi selalu pergi ke sana. Mereka pergi ke sana membawa hasil bumi dan ternak untuk dijual, lalu pulang membawa bahan-bahan pokok untuk keperluan hidup keluarga seminggu.