Karena sudut pandangnya sosiologis, otomatis saya mengesampingkan perspektif biologi , psikologi, dan teologi di sini.
Alasannya tiga perspektif itu tak membuka pemahaman seutuhnya mengenai gejala LGBT. Biologi mereduksi masalahnya ke dimensi fisik. Psikologi merdeksinya ke dimensi psikis. Sedangkan teologi yang dogmatis memvonisnya sebagai dosa.
Melalui “The Second Sex” Beauvoir menunjukkan bahwa, sepanjang sejarah bangsa-bangsa, lelaki telah merendahkan perempuan melalui proses hegemoni gender. Lelaki secara sepihak mendefiniskan diri sebagai gender superior. Karena itu ruang publik (luar-rumah) adalah ranah yang pantas baginya.
Lalu, secara sepihak juga, lelaki mendefiniskan perempuan sebagai gender inferior. Karena itu ruang domestik (dalam-rumah) adalah ranah yang pantas baginya.
Pendefinisian sepihak itu jelas menempatkan urusan publik di atas urusan domestik. Karena itu, implikatif, perempuan sebagai kategori gender diposisikan di bawah lelaki. Di sini, perempuan dilemahkan, untuk kemudian dikuasai lelaki.
Maka timbullah gejala ketidak-adilan gender. Suatu gejala pengutamaan hak-hak sosial, ekonomi, dan politik bagi lelaki ketimbang perempuan. Pemimpin adalah lelaki, pengikut adalah perempuan. Keputusan di tangan lelaki, perempuan tak punya hak suara.
Ketidak-adilan gender itulah yang kemudian memicu gerakan feminisme. Gerakan perlawanan perempuan terhadap hegemoni lelaki. Ini perlawanan ideologis.
Semua gerakan itu, mulai dari aliran lembut sampai aliran keras , pada intinya memperjuangkan kesetaraan gender perempuan dan lelaki. Terutama dalam hak-hak serta kewajiban-kewajiban sosial, ekonomi, dan politik. Ini soal eksistensi sosial.
Karena tak ada logikanya menempatkan perempuan, separuh dari umat manusia, sebagai warga kelas dua di bawah lelaki, separuh umat lainnya.
Hasil perlawanan itu, kurang lebih setelah empat dekade, sudah dinikmati perempuan dan (sebenarnya juga) lelaki dewasa ini. Proporsi perempuan dan lelaki yang berkarya di ruang publik, terutama bidang sosial, ekonomi, dan politik, semakin mendekati titik perimbangan. Bahkan sudah jamak kini pimpinan teritingi suatu organisasi sosial/ekonomi/politik, termasuk negara, dijabat oleh perempuan.
Kesetaraan gender bukan impian lagi, tapi sudah menjadi kenyataan kini. Memang belum sepenuhnya setara, karena resistensi kaum lelaki yang tak kurang sengitnya, tapi arus ke sana tak terbendung lagi.
Seiring proses penyetaraan gender perempuan dan lelaki itu, di antara keduanya terbangun juga konsensus norma sosial yang mengatur perilaku sosial normal (dan abnormal). Salah satunya menyangkut perilaku seks dan pernikahan (perkawinan).