Nilai Solidaritas
Terlepas dari ragam cap miring dan negatif yang disematkan padanya, secara obyektif, komunitas transmigran swakarsa Gafatar itu adalah contoh “kisah sukses” revolusi mental.
Entah dengan cara bagaimana “Mesias” Moshadeq serta anak-buahnya bisa meyakinkan para “transmigran” itu, sehingga pola pikirnya berubah radikal. Mereka lalu meninggalkan kehidupan lamanya untuk sebuah kehidupan baru di “tanah terjanji”.
Padahal, untuk sebagian dari mereka, kehidupan lama sudah mapan dan individualis pula. Lalu mengapa mereka mau meninggalkan semua itu untuk sebuah kehidupan komunitas yang sepintas mirip “komune China” atau mungkin “kibbutz Israel”?
Agaknya, “Mesias” Moshadeq dan anak-buahnya telah berhasil menanamkan kembali nilai-nilai solidaritas kepada para “transmigran”-nya. Sekaligus meyakinkan mereka bahwa solidaritas adalah kunci untuk mencapai kehidupan yang adil dan makmur.
Agaknya juga, “Mesias” Moshadeg dan anak-buahnya berhasil membuktikan bahwa masyarakat Indonesia kini tak punya nilai solidaritas lagi. Lihatlah korupsi meraja-lela dan konflik berbau primordial kerap dan gampang meletup di berbagai penjuru nusantara.
Mungkin itu alasannya mengapa “Mesias” Moshadeq membangun komunitas “baru” di Mempawah. Barangkali itu adalah wujud purifikasi, pemurnian masyarakat yang telah tercemari nilai-nilai anti-solidaritas.
Memang harus diakui pula, nilai solidaritas sudah memudar dalam masyarakat Indonesia. Itu mungkin akibat dari penerapan spartan Trilogi Pembangunan sepanjang masa Orde Baru: pertumbuhan, stabilitas, pemerataan. Dalam prakteknya, pertumbuhan dan stabilitaslah yang utama. Jika ada tuntutan pemerataan, maka akan dibungkam atas nama stabilitas.
Perlu Dikaji