Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jokowi Perlu Berguru pada “Mesias” Moshadeq?

26 Januari 2016   13:15 Diperbarui: 10 Februari 2016   11:04 2706
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, pola remuneratif (imbalan), dengan respon partisipasi yang bersifat kalkulatif (untung-rugi). Misalnya, pemerintah menyuruh petani menanam padi varietas unggul baru, lalu petani menurutinya karena benihnya gratis, ada harapan produktivitas tinggi, dan mendapat pupuk bersubsidi pula. Siapa yang menolak untung?

Ketiga, pola normatif (penanaman nilai), dengan respon partisipasi yang bersifat moral. Misalnya, semua warga sebuah dusun kerja-sama mendirikan rumah seorang warga, atas dorongan kewajiban moral untuk saling-bantu antar sesama warga. Antar sesama, harus solider.

 

Jalan Revolusi Mental

Lalu apa kaitan tiga pola kuasa-partisipasi versi Etzioni itu dengan revolusi mental?

Begini. Kalau revolusi mental dipahami sebagai proses perubahan radikal pola pikir (nilai sosial) dalam diri individu/komunitas, maka ada tiga jalan menuju sana. Tiga jalan itu, merujuk Etzioni, adalah jalan kursif, jalan remunerative, dan jalan normatif.

Untuk memahaminya dalam kenyataan, sekaligus membanding Kemendes dengan Gafatar, atau Presiden Jokowi dengan “Mesias” Moshadeq, izinkan mengajukan program transmigrasi sebagai contoh.

Jalan pertama: kursif alias main paksa. Bagi sebagian transmigran umum, program yang mereka ikuti dinilai sebagai pemaksaan, untuk pindah dari Jawa keluar Jawa. Karena itu setelah setahun “susah” di daerah transmigrasi, mereka menjual jatah rumah dan lahan lalu pindah ke kota atau kembali ke Jawa. Berarti, revolusi mental gagal, pola pikir transmigran tak berubah.

Jalan kedua: remuneratif alias iming-iming. Bagi sebagian lagi transmigran umum, program itu diterima sebagai langkah yang memiliki resiko untung-rugi. Mereka bertahan di daerah transmigrasi. Sebagian berkembang maju, tapi sebagian lagi pada akhirnya bernasib “sama seperti di Jawa”. Pada golongan terakhir ini, revolusi mental tak terjadi.

Jalan ketiga: normatif alias dorongan etos baru. Transmigran swakarsa dahulu pada umumnya berhasil karena didasari etos baru untuk meraih kehidupan yang lebih baik. Karena itu mereka berangkat transmigrasi atas inisiatif dan biaya sendiri. Pada mereka ini, revolusi mental telah terjadi sebelum berangkan ke tanah seberang.

Sudah lama gerakan transmigrasi swakarsa tak terdengar. Sampai kemudian “ditemukan” (lalu diberantas?) satu komunitas “transmigran swakarsa” yang diorganisir Gafatar di Mempawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun