Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ayo Menjadi Plagiator di Kompasiana

22 Januari 2016   09:06 Diperbarui: 16 Juni 2016   15:09 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi "Belajar Menjadi Plagiator" (c Felix Tani, 22/01/2016)

 

Mari kita mulai dengan sebuah contoh. Perhatikan paragraf berikut ini.

“Bagaimana cara melenyapkan terorisme? Gampang sekali itu. Hanya ada satu kata: Lawan! Gitu aja kok repot.”

Pertanyaannya, apakah paragraf di atas tergolong plagiat? Saya mengaku. Itu plagiat.

Alasannya sederhana. Kalimat “Gampang sekali itu” menjiplak Jokowi. Kalimat “Hanya ada satu kata: Lawan” menjiplak Widji Thukul. Kalimat “Gitu aja kok repot” menjiplak Gus Dur.

Karena tak mencantumkan nama-nama mereka, entah dalam teks, entah sebagai catatan kaki atau catatan ujung, berarti saya tak mengakui dan tak menghargai mereka.

Dengan begitu, paragraf itu adalah plagiat. Disebut plagiat mutlak (verbatim) tipe sederhana (lihat Wiradi,2002).

Saya sendiri? Plagiator, itu pasti! Jadi, gampang sekali menjadi plagiator, bukan?

Contoh lain, perhatikan paragraf di bawah ini.

“Hati-hati, jangan sembarang menuduh Gafatar aliran sesat. Buktikan dulu dengan cermat. Apakah dia reinkarnasi Al Qiyadah Al Islamiyah? Kalau bukan, berarti bukan gerakan sesat.”

Apakah paragraf di atas tergolong plagiat? Tentu saja. Itu plagiat mutlak tipe sekunder (lihat Wiradi, 2002).

Aslinya, bunyi paragraf itu begini: “Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan, Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) bisa dinyatakan sesat jika organisasi tersebut merupakan reinkarnasi dari gerakan Al Qiyadah Al Islamiyah.”

Itu paragraf pertama dalam berita “MUI: Gafatar Dinyatakan Sesat, Jika...” (republica.co.id, Rabu 20 Januari 2016). Kecuali sumber berita ini dicantumkan, dalam teks atau catatan ujung, maka saya selamat dari tuduhan plagiator.

Sekali lagi, gampang menjadi plagiator, bukan?

Contoh lagi. Ini terakhir, takut dibilang menggurui. Perhatikan paragraf ini.

“Siapa yang paling berkuasa menentukan jenis dan jam tayang siaran televisi di rumah? Tentu saja orang dewasa, bapak dan atau ibu. Anak-anak harus tuduk pada kuasa orangtuanya. Atau kalau bukan orangtua, maka kakaknya yang lebih tua. Sementara anak-anak atau anak kecil? Cuma bisa manut, tanpa gairah, ngantuk lalu tertidur di depan televisi.”

Lalu bandingkan dengan paragraf di bawah ini.

“Orang dewasa tentulah mengambil peran di depan untuk mengontrol jenis dan jam tayang. Masalahnya tidak semua orang dewasa menyadari arti "peran di depan" dalam mengatur permainan kuasa itu. Kalau bukan malah menjadi bagian paling depan yang termehek tegang di depan sinetron. Anak-anak bahkan dibujuknya ikut serta sekali pun harus terkantuk lemas seperti boneka kehabisan batre tapi diajak berimajinasi terus, kasihaan.”

Salah satu dari dua paragaraf itu adalah plagiat. Paragraf yang mana? Sudah pasti yang pertama. Saya yang membuatnya, tanpa menyebut sumber aslinya. Itu tergolong paduan plagiat “acak kata” (patchwork) dan “kata kunci” (keywords) (lihat Wiradi, 2002).

Paragraf kedua itu sumber asli, buatan Kompasianer S. Aji, “Daya Pukau Sinetron dan Permainan Kuasa Tontonan” (Kompasiana, 21 Januari 2016).

Jadi, secara teknis, gampang sekali menjadi seorang plagiator, bukan?

Jangan bilang sulit. Sebab di Kompasiana kerap saya temukan kalimat-kalimat, paragraf-paragraf, atau bahkan keseluruhan artikel, yang masuk kategori plagiat.

Kalau diingatkan, ada saja pembelaan. Misalnya bilang, “Ini kan parafrase. Sah-sah saja, dong.” Ya, memang, sah-sah saja. Kalau menyebut sumbernya, atau tetap memberi tanda kutip pada kalimat atau frasa yang dicontek mentah-mentah.

Tak cukup dengan mengatakan “Tulisan ini terinspirasi oleh ….”. Kalau parafrase, bilanglah itu parafrase. Kalau saduran, katakan itu saduran. Kalau jiplakan, berilah tanda kutip dan sebut sumbernya.

Etika adalah nilai intrinsik dalam sebuah tulisan. Plagiat sama sekali tidak etis. Karena tak mengakui dan menghargai buah pikiran atau karya orang lain.

Tapi kalau mau terus menulis dan menerbitkan artikel-artikel bernilai plagiat di Kompasiana, ya, silahkan saja.

Ayolah kita rame-rame menjadi plagiator. Kita bunuh Kompasiana ini! Puas?(*)

 

*)Ada baiknya membaca rujukan sederhana ini:  Wiradi, Gunawan, 2002, Etika Penulisan Karya Ilmiah, Bandung: Akatiga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun