Tadi saya bilang, istilah "artikel picisan" itu hanya berlaku untuk saya sendiri. Jadi tipologi artikel di atas sebenarnya saya buat untuk keperluan sendiri juga. Maksudnya sebagai kerangka evaluasi diri, begitu (sok keren).
Terhitung sejak 19 Mei 2014 di Kompasiana, saya sudah menerbitkan 346 artikel. Sebanyak 57 artikel diapresiasi HL, 212 artikel diapresiasi Pilihan, dan sisanya 77 artikel tanpa apresiasi sama sekali.Â
Nah, di antara 77 artikel tanpa apresiasi Admin itu  ada yang tergolong "picisan", dan ada pula yang tegolong "pra-artikel". Tapi saya tak tahu berapa jumlah masing-masing, karena malas menghitung jumlah hitnya. (Emangnya ga ada kerjaan lain, apa?).
Yang jelas, saya bangga dengan sejumlah artikel picisan yang telah saya tulis dan terbitkan. (Sebaliknya, saya menyesal telah menerbitkan sejumlah pra-artikel). Tanya, kenapa saya bangga?
Saya bangga karena artikel-artikel picisan itu, sepanjang ingatan, saya tulis secara spontan memperturutkan ide dan semangat yang tiba-tiba muncul begitu saja. Lalu, tanpa dibaca-ulang untuk editing, langsung saja saya terbitkan.
Artikel-artikel picisan saya itu murni sebagai buah kemerdekaan berpikir dan berkarya. Dan sungguh, saya berterimakasih, ada Kompasiana yang sudi menampung tumpahan karya-karya picisan semacam itu. Saya juga berterimakasih, ada banyak Kompasianer yang sudi meluangkan waktu membaca artikel-artikel picisan itu. Â
Sekaligus, saya mohon maaf juga, jika setelah membaca artikel-artikel picisan itu, rekan Kompasianer menyesal, karena tak beroleh manfaat apapun. Â Yang ada malah rugi, buang-buang waktu, kuota internet, dan energi. Â
Yang bisa saya katakan, artikel-artikel picisan itu adalah suguhan saya yang "paling jujur", dalam arti "apa adanya". Dan saya masih akan terus menulis artikel picisan. Mohon maaf sekali lagi jika nanti waktu, kuota internet, dan energi rekan-rekan Kompasianer terbuang percuma lagi. Â Lantaran membaca artikel picisan Felix Tani.(*)
Â
*)Illustrasi mata uang 10 sen = sepicis, diambil dari uang-kuno.com
Â