Barang siapa pernah menjadi remaja tahun 1970-an, tentulah tahu apa itu roman picisan. Itu istilah yang diberikan para pengamat sastra untuk novel-novel percintaan yang rendah nilai su(sastra)nya. Lazimnya dijual di toko-toko buku kelas bawah atau lapak trotoar dengan harga super murah, "sepicis" saja. Â Itu pula sebabnya disebut "picisan", murahan.
Tapi soal nilai su(sastra), roman picisan sebenarnya bukan yang terburuk. Lebih buruk dari itu adalah "cerita stensilan", umum dikenal "cersil". Â Ini "buku" cerita esek-esek yang luar-dalam tak ada indah-indahnya sama sekali. Lazimnya bisa disewa di kios komik dengan syarat "sudah dewasa", alias sudah punya "bulu ketiak".
Kembali ke roman picisan. Pengarang roman picisan itu jelas bukan sastrawan. Mereka adalah orang-orang yang punya sedikit keahlian mengarang, yang sedikit pintar membaca selera "ringan" masyarakat, lalu memproduksi roman-roman picisan itu dengan kecepatan pabrikan.
Saya perlu singgung sedikit roman picisan ini, karena hendak membuat paralelisme dengan "artikel picisan" di Kompasiana. Jadi, kalau mendengar istilah "artikel picisan", saya mau asosiasinya adalah "roman picisan" tadi.
Tapi tak perlu khawatir. Kalau saya bicara "artikel picisan" di Kompasiana, maka yang sedang dibicarakan adalah sejumlah artikel saya. Bukan artikel Anda, hai, rekan-rekan Kompasianer.
Apa itu artikel picisan? Dalam konteks Kompasiana, untuk mengidentifikasinya, saya coba buatkan matriks 2 x 2 yang mempersilangkan apresiasi pembaca (Tinggi/Rendah) dan apresiasi admin (Tinggi/Rendah). Tinggi/rendahnya apresiasi pembaca diukur dari jumlah hits: Tinggi (200 ke atas), Rendah (di bawah 200). Tinggi/rendahnya apresiasi admin diukur dari predikat artikel: Tinggi (HL, Pilihan), Rendah (tanpa predikat atau HL = Hanya Lewat, begitu saja).
Matrik itu menghasilkan empat tipe artikel yang berbeda.Â
Tipe Pertama: Apresiasi Pembaca Tinggi, Apresiasi Admin Tinggi. Ini tipe artikel "menarik dan berbobot". Ini tipe artikel idaman setiap penulis, saya kira.
Tipe Kedua: Apresiasi Pembaca Tinggi, Apresiasi Admin Rendah. Ini tipe artikel "menarik tapi tak berbobot". Tipe ini yang saya maksud dengan "artikel picisan".
Tipe Ketiga: Apresiasi Pembaca Rendah, Apresiasi Admin Tinggi. Ini tipe artikel "tak menarik tapi berbobot". Artikel ini biasanya sudah judul dan topiknya tak menarik, isinya susah pula dicerna.Â
Tipe Keempat: Apresiasi Pembaca Rendah, Apresiasi Admin Rendah. Ini tipe artikel "tak menarik dan tak berbobot". Barang kali, tipe ini belum bisa digolongkan artikel. Mungkin tergolong  pra-artikel yang sebenarnya masih memerlukan penyempurnaan sana-sini, tapi sudah keburu pencet tombol "publish".
Tadi saya bilang, istilah "artikel picisan" itu hanya berlaku untuk saya sendiri. Jadi tipologi artikel di atas sebenarnya saya buat untuk keperluan sendiri juga. Maksudnya sebagai kerangka evaluasi diri, begitu (sok keren).
Terhitung sejak 19 Mei 2014 di Kompasiana, saya sudah menerbitkan 346 artikel. Sebanyak 57 artikel diapresiasi HL, 212 artikel diapresiasi Pilihan, dan sisanya 77 artikel tanpa apresiasi sama sekali.Â
Nah, di antara 77 artikel tanpa apresiasi Admin itu  ada yang tergolong "picisan", dan ada pula yang tegolong "pra-artikel". Tapi saya tak tahu berapa jumlah masing-masing, karena malas menghitung jumlah hitnya. (Emangnya ga ada kerjaan lain, apa?).
Yang jelas, saya bangga dengan sejumlah artikel picisan yang telah saya tulis dan terbitkan. (Sebaliknya, saya menyesal telah menerbitkan sejumlah pra-artikel). Tanya, kenapa saya bangga?
Saya bangga karena artikel-artikel picisan itu, sepanjang ingatan, saya tulis secara spontan memperturutkan ide dan semangat yang tiba-tiba muncul begitu saja. Lalu, tanpa dibaca-ulang untuk editing, langsung saja saya terbitkan.
Artikel-artikel picisan saya itu murni sebagai buah kemerdekaan berpikir dan berkarya. Dan sungguh, saya berterimakasih, ada Kompasiana yang sudi menampung tumpahan karya-karya picisan semacam itu. Saya juga berterimakasih, ada banyak Kompasianer yang sudi meluangkan waktu membaca artikel-artikel picisan itu. Â
Sekaligus, saya mohon maaf juga, jika setelah membaca artikel-artikel picisan itu, rekan Kompasianer menyesal, karena tak beroleh manfaat apapun. Â Yang ada malah rugi, buang-buang waktu, kuota internet, dan energi. Â
Yang bisa saya katakan, artikel-artikel picisan itu adalah suguhan saya yang "paling jujur", dalam arti "apa adanya". Dan saya masih akan terus menulis artikel picisan. Mohon maaf sekali lagi jika nanti waktu, kuota internet, dan energi rekan-rekan Kompasianer terbuang percuma lagi. Â Lantaran membaca artikel picisan Felix Tani.(*)
Â
*)Illustrasi mata uang 10 sen = sepicis, diambil dari uang-kuno.com
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H