Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kereta Api Trans-Papua, Jangan seperti Kereta Api Trans-Jawa Masa Kolonial

5 Januari 2016   17:32 Diperbarui: 10 Februari 2016   11:05 1538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Usulan itu direalisasikan tahun 1864, saat pemerintahan Gubernur Jenderal L.A.J Baron Sloet van den Beele, membangun jalur kereta api rute Kemijen (Semarang) – Tanggung. Jalur ini rampung dan dioperasikan tahun 1867, untuk mengangkut hasil bumi ke gudang di Semarang, disamping untuk keperluan militer.

Kepentingan pengangkutan hasil bumi untuk ekspor itulah yang mendasari pembangunan jaringan rel kereta api di Hindia Belanda seterusnya. Sejak tahun 1876, Pemerintah Kolonial Belanda mengembangkan jaringan kereta api Jawa, yang bermuara di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Perak Surabaya.

Lalu apa manfaat kehadiran jaringan kereta api Trans-Jawa di masa kolonial untuk penduduk pedesaan Jawa?

Dengan sangat menyesal harus dikatakan, “Tidak ada.” Justru sebaliknya, kehadiran jaringan kereta api itu telah menjadi alat kapitalisme untuk memeras sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di pedesaan Jawa. Kapitalisme kolonial yang memiskinkan penduduk Jawa, dan akhirnya memicu pemberontakan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda.

Sejak 1830, sebagai implikasi Sistem Tanam Paksa, ekonomi pedesaan Jawa telah menjadi dualistik. Di satu pihak ada moda produksi kapitalis yang dominan dan menguras sumberdaya alam dan manusia pedesaan Jawa, seluruhnya untuk kemakmuran Belanda.

Ada dua tipe kapitalisme yang mera waktu itu. Pertama, kapitalisme negara sebagai konsekuensi dari penerapan Sistem Tanam Paksa sejak 1830. Sistem ini dikelola oleh satu badan pemerintah bernama Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM), yang taklebih dari reinkarnasi VOC.

Kedua, kapitalisme swasta yang kemudian menggantikan kapitalisme pemerintah sejak 1870, seiring diterbitkannya Agrarische Wet 1870 yang mengakhiri Sistem Tanam Paksa sekaligus membuka pintu masuknya perusahaan perkebunan swasta ke Hindia Belanda.

Itu adalah revolusi perkebunan dan jaringan kereta api di Jawa sepenuhnya difungsikan untuk melayani kepentingan revolusi tersebut. Revolusi yang memakmurkan para ondernemer dan negara Belanda.

Sementara nasib penduduk pedesaan Jawa terjerumus ke sumur “involusi pertanian”, meminjam istilah Clifford Geertz. Dengan pola ekonomi dualistik (ganda) di Jawa masa kolonial, pertambahan penduduk pedesaan tidak terserap ke sektor kapitalisme, tetapi terakumulasi di sektor non-kapitalis yaitu pertanian pangan yang semakin menyempit.

Akibatnya, di sektor pertanian pangan itu, terlalu banyak penduduk yang bergantung pada terlalu sempit lahan. Maka terjadilah, menyitir istilah Geertz, “kemiskinan terbagikan” (shared poverty) di pedesaan Jawa.

Melayani Kapitalisme Global?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun