Ilustrasi - Stasiun kereta api Lampegan di Desa Cibokor, Pasir Gunung Keneng, Cianjur, Jawa Barat. (KOMPAS.COM/FIRA ABDURACHMAN)
(ME4JKW #001)
Masa lalu penduduk pedesaan Jawa bisa menjadi masa depan penduduk pedesaan Papua.
Pernyataan ini mungkin terdengar berlebihan. Tapi sebenarnya tidak begitu. Izinkan saya menjelaskannya.
Begini. Pernyataan itu, untuk Papua, harus diletakkan pada konteks rencana pembangunan jalur kereta api Trans-Papua. Lalu, untuk Jawa, diletakkan dalam konteks pembangunan jalur kereta api Trans-Jawa.
Dengan memproyeksikan pengalaman Jawa di masa lalu ke kemungkinan pengalaman Papua di masa depan, maka akan terlihat nanti, apakah pernyataan itu berlebihan atau tidak.
Melayani Kapitalisme Kolonial
Kita mulai dari masa lalu, dari masa Pemerintahan Kolonial Belanda di Hindia Belanda, cikal-bakal Indonesia. Ambil tahun 1830 sebagai titik tolak, tepat ketika Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch mulai memerintah dan menerapkan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel).
Mengapa harus bicara soal Sistem Tanam Paksa segala? Karena sistem inilah yang memicu kebutuhan pembangunan transportasi kereta api.
Produk sistem tanam paksa melimpah, antara lain kopi, gula (tebu), dan nilam. Semua itu harus diangkut ke pelabuhan untuk kemudian diekspor ke Belanda, untuk menggembungkan kembali kas Kerajaan Belanda yang telah kempis akibat perang.
Masalahnya, kapasitas angkutan jalan raya konvensional sangat terbatas, sehingga muncullah usulan pembangunan transportasi kereta api. Usulan itu, untuk pertama kalinya diajukan Kolonel J.H.R. Van der Wijck tahun 1840.
Usulan itu direalisasikan tahun 1864, saat pemerintahan Gubernur Jenderal L.A.J Baron Sloet van den Beele, membangun jalur kereta api rute Kemijen (Semarang) – Tanggung. Jalur ini rampung dan dioperasikan tahun 1867, untuk mengangkut hasil bumi ke gudang di Semarang, disamping untuk keperluan militer.
Kepentingan pengangkutan hasil bumi untuk ekspor itulah yang mendasari pembangunan jaringan rel kereta api di Hindia Belanda seterusnya. Sejak tahun 1876, Pemerintah Kolonial Belanda mengembangkan jaringan kereta api Jawa, yang bermuara di pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Tanjung Perak Surabaya.
Lalu apa manfaat kehadiran jaringan kereta api Trans-Jawa di masa kolonial untuk penduduk pedesaan Jawa?
Dengan sangat menyesal harus dikatakan, “Tidak ada.” Justru sebaliknya, kehadiran jaringan kereta api itu telah menjadi alat kapitalisme untuk memeras sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di pedesaan Jawa. Kapitalisme kolonial yang memiskinkan penduduk Jawa, dan akhirnya memicu pemberontakan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda.
Sejak 1830, sebagai implikasi Sistem Tanam Paksa, ekonomi pedesaan Jawa telah menjadi dualistik. Di satu pihak ada moda produksi kapitalis yang dominan dan menguras sumberdaya alam dan manusia pedesaan Jawa, seluruhnya untuk kemakmuran Belanda.
Ada dua tipe kapitalisme yang mera waktu itu. Pertama, kapitalisme negara sebagai konsekuensi dari penerapan Sistem Tanam Paksa sejak 1830. Sistem ini dikelola oleh satu badan pemerintah bernama Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM), yang taklebih dari reinkarnasi VOC.
Kedua, kapitalisme swasta yang kemudian menggantikan kapitalisme pemerintah sejak 1870, seiring diterbitkannya Agrarische Wet 1870 yang mengakhiri Sistem Tanam Paksa sekaligus membuka pintu masuknya perusahaan perkebunan swasta ke Hindia Belanda.
Itu adalah revolusi perkebunan dan jaringan kereta api di Jawa sepenuhnya difungsikan untuk melayani kepentingan revolusi tersebut. Revolusi yang memakmurkan para ondernemer dan negara Belanda.
Sementara nasib penduduk pedesaan Jawa terjerumus ke sumur “involusi pertanian”, meminjam istilah Clifford Geertz. Dengan pola ekonomi dualistik (ganda) di Jawa masa kolonial, pertambahan penduduk pedesaan tidak terserap ke sektor kapitalisme, tetapi terakumulasi di sektor non-kapitalis yaitu pertanian pangan yang semakin menyempit.
Akibatnya, di sektor pertanian pangan itu, terlalu banyak penduduk yang bergantung pada terlalu sempit lahan. Maka terjadilah, menyitir istilah Geertz, “kemiskinan terbagikan” (shared poverty) di pedesaan Jawa.
Melayani Kapitalisme Global?
Sekarang kita beralih ke masa kini, tahun 2015, ketika Presiden Jokowi mencanangkan pembangunan jalur kereta api Trans-Papua.
Struktur ekonomi Papua kini kurang lebih menunjukkan pola dualistik juga, seperti ekonomi Jawa masa kolonial. Di pedesaan Papua berlangsung moda produksi non-kapitalis, yaitu berupa pertanian subsisten dan bahkan untuk sebagian masih pola meramu dan berburu.
Sementara itu di perkotaan dan di sejumlah titik bisnis di Papua, berkembang moda produksi kapitalis besar. Antara lain perusahaan-perusahaan tambang (Freeport yang terbesar), perhutanan/perkayuan, dan perkebunan (terutama sawit). Bahkan akan berkembang pula perusahaan pangan (food estate) modern di Merauke. Semua ini dapat digolongkan sebagai kapitalis global, dalam arti modal dan atau pasarnya bersifat lintas-nasional.
Lalu, dari dua moda produksi itu, manakah yang terutama akan dilayani kereta api Trans-Papua. Perhatikan rencana jalur kereta api Trans-Papua. Dari Sorong di barat ke Manokwari di sebelah timur “Kepala Burung”, lalu terus ke Nabire di “Leher Papua”. Dari Nabire ada percabangan yaitu, cabang pertama, ke timur laut ke Sarmi lalu terus keJayapura di ujung timur. Cabang kedua kea rah tenggara menuju Timika, “kota tambang” di “Perut Papua”.
Apakah berlebihan mengatakan bahwa kepentingan kapitalis-kapitalis itulah yang pertama dan terutama akan dilayani kereta api Trans-Papua? Apakah sebuah manfaat jika rel kereta api melintas di depan komplek honai atau kebun-kebun hipere di pedalaman Papua?
Perusahaan pertambangan, perhutanan/perkayuan, dan perkebunan kapitalistik pastilah akan tambah berkembang dengan adanya jalur kereta apai Trans-Papua. Pengangkutan hasil-hasil tambang dan hasil bumi, serta hasil hutan ke pelabuhan akan semakin lancar, untu selanjutnya diekspor ke luar Papua.
Siapakah yang bisa menjamin akan terjadi ekspor hipere atau buah merah atau babi dengan adanya kereta api Trans-Papua? Atau siapa yang bisa menjamin lahan kebun hipere penduduk Papau tidak akan menyempit dijepit ekspansi perkebunan? Jangan bilang bahwa gejala “involusi pertanian” mustahil terjadi di pedesaan Papua.
Jika demikian halnya, bukankah itu berarti “masa lalu” penduduk pedesaan Jawa menjadi “masa depan” penduduk pedesaan Papua, sebagai dampak pembangunan keretaa api Trans-Papua?
Tapi tidak baik bersikap pesimistik. Masih ada harapan untuk mengindari pengulangan “masa lalu” Jawa di Papua. Caranya sederhana: mengintegrasikan kepentingan sosial-ekonomi penduduk pedesaan Papua pada pembangunan jaringan kereta api Trans-Papua.
Contoh sederhana: pembangunan agribisnis perkebunan berbasis komunitas lokal di Papua. Dengan begitu, hasil bumi yang diangkut kereta api Trans-Papua adalah produksi penduduk pedesaan Papua sendiri. Hal serupa bisa diterapkan dalam usaha pertambangan dan perkayuan.
Jika kepentingan sosial-ekonomi penduduk pedesaan Papua tak terintegrasi pada pembangunan jaringan kereta api Trans-Papua maka, seperti telah terjadi di Jawa pada masa kolonial, tak mengherankan jika gejala resistensi atau bahkan pemberontakan akan semakin subur di Papua.(*)
*)ME4JKW = MEMO FOR JOKOWI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H