Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Andaikan Wafat Sekali Lagi

15 Desember 2015   18:43 Diperbarui: 18 Desember 2015   22:04 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(HRM #114)

Tanggapan anak kecil terhadap peristiwa kematian bersifat unik. Orang dewasa mungkin berduka-cita, tapi anak kecil mungkin justru bersuka-cita.

Pengalaman Poltak waktu kecil dapat menjadi bukti. Kakeknya wafat saat dia baru menginjak kelas 3 SD. Waktu itu tahun 1970.

Poltak kecil tentu saja terpukul dengan kematian kakeknya. Ada kesedihan, lalu derai air mata.

Tapi di situ ada kesedihan, di situ pula ada penghiburan. Banyak anggota kerabat yang menghibur

Poltak. Caranya unik, membesarkan hati Poltak sambil memberi bonus uang serupiah (Rp 1,-) sampai seringgit (Rp 2.5,-).

“Bah, banyak kalilah duitmu itu, Poltak. Berapa semua?” tanya salah seorang pamannya yang juga memberikan uang serupiah.

“Tujuh ringgit, Tulang!” jawab Poltak sumringah, mendadak lupa duka-citanya. Uang memang bisa mengubah derai air mata menjadi derai tawa ria.

Tiga hari setelah masa izin duka-cita dari sekolah berakhir, Poltak kembali masuk kelas dengan pikiran mengawang. Tubuhnya ada di kelas, tapi pikirannya entah ke mana.

“Hei, Poltak. Cukup sudah duka-cita. Saatnya belajar lagi,” tegur Pak Oskar, gurunya.

“Iya, Pak Guru! Tapi saya tidak berduka lagi, Pak Guru,” jawab Poltak tersentak dari pikiran mengawangnya.

“Ooo, kalau begitu, kau mikir apa tadi, Poltak,” tanya Pak Guru Oskar menyelidik.

“Mikir seandainya kakekku wafat sekali lagi, Pak Guru,” jawab Poltak sambil membayangkan kemungkinan mendapatkan uang tujuh ringgit sekali lagi.(*)

#Pesan revolusi mental: “Uang penghiburan tidak membayar beban duka.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun