(HRM #114)
Tanggapan anak kecil terhadap peristiwa kematian bersifat unik. Orang dewasa mungkin berduka-cita, tapi anak kecil mungkin justru bersuka-cita.
Pengalaman Poltak waktu kecil dapat menjadi bukti. Kakeknya wafat saat dia baru menginjak kelas 3 SD. Waktu itu tahun 1970.
Poltak kecil tentu saja terpukul dengan kematian kakeknya. Ada kesedihan, lalu derai air mata.
Tapi di situ ada kesedihan, di situ pula ada penghiburan. Banyak anggota kerabat yang menghibur
Poltak. Caranya unik, membesarkan hati Poltak sambil memberi bonus uang serupiah (Rp 1,-) sampai seringgit (Rp 2.5,-).
“Bah, banyak kalilah duitmu itu, Poltak. Berapa semua?” tanya salah seorang pamannya yang juga memberikan uang serupiah.
“Tujuh ringgit, Tulang!” jawab Poltak sumringah, mendadak lupa duka-citanya. Uang memang bisa mengubah derai air mata menjadi derai tawa ria.
Tiga hari setelah masa izin duka-cita dari sekolah berakhir, Poltak kembali masuk kelas dengan pikiran mengawang. Tubuhnya ada di kelas, tapi pikirannya entah ke mana.
“Hei, Poltak. Cukup sudah duka-cita. Saatnya belajar lagi,” tegur Pak Oskar, gurunya.
“Iya, Pak Guru! Tapi saya tidak berduka lagi, Pak Guru,” jawab Poltak tersentak dari pikiran mengawangnya.
“Ooo, kalau begitu, kau mikir apa tadi, Poltak,” tanya Pak Guru Oskar menyelidik.
“Mikir seandainya kakekku wafat sekali lagi, Pak Guru,” jawab Poltak sambil membayangkan kemungkinan mendapatkan uang tujuh ringgit sekali lagi.(*)
#Pesan revolusi mental: “Uang penghiburan tidak membayar beban duka.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H