Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Resistensi Mafia Impor Beras

12 November 2015   08:34 Diperbarui: 12 November 2015   13:49 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, penetapan harga pembelian gabah/beras oleh pemerintah/Bulog (HPP) yang jauh di bawah harga pasaran. Inpres Perberasan No. 5/2015 misalnya menetapkan HPP beras Rp 7,300/kg, padahal harga pasaran berkisar Rp 8,000-10,000/kg. Akibatnya Bulog tak mampu menyerap beras petani, sehingga target cadangan beras pemerintah tak tercapai. Solusinya, impor beras murah dari negara tetangga.

Meredam Resistensi

Titik kekuatan resistensi jaringan MIB sebenarnya adalah fasilitasi impor beras, langsung atau tidak langsung, dari UU Pangan No. 18/2012 dan Inpres Perberasan No. 5/2015. Jadi, langkah paling efektif untuk meredam resistensi jaringan itu adalah revisi mendasar untuk menjadikan UU dan Inpres tersebut berwatak kedaulatan pangan atau anti-impor beras khususnya.

Kongkritnya, pertama, syarat kondisional impor beras pada Pasal 36 UU Pangan No. 18/2012 harus direvisi karena sangat berorientasi ketahanan pangan. Berdasar pasal itu, impor beras otomatis terbuka bagi jaringan MIB hanya dengan pengumuman angka defisit neraca beras nasional oleh menteri/ lembaga yang berwewenang.

Untuk menangkal impor, UU Pangan itu harus direorientasikan pada kedaulatan pangan, dengan mensubordinasikan Bagian Kelima (ketentuan impor pangan) kepada Bagian Ketujuh (ketentuan krisis pangan). Dengan begitu keputusan impor beras tidak didasarkan pada syarat kondisional angka defisit neraca pangan, melainkan pada syarat kondisional krisis pangan nasional, yang penetapannya langsung di tangan presiden.

Syarat kondisional krisis pangan akan mengunci langkah jaringan MIB dan pemerintah sekaligus. Di satu pihak jaringan MIB mustahil merekayasa kondisi krisis pangan untuk justifikasi impor. Di lain pihak, demi stabilitas ekonomi dan politik, pemerintah akan melakukan apapun untuk mencegah krisis pangan.

Kedua, penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) dalam Inpres Perberasan No. 5/2015 sebagai batas atas harga pembelian gabah/beras oleh Bulog juga berorientasi ketahanan pangan. Ketentuan itu menyebabkan Bulog terkendala membeli gabah/beras apabila harganya di atas HPP, mengingat anggaran komersilnya terbatas. Fakta inilah yang selalu menjadi dasar bagi Bulog berikut jaringannya untuk impor beras.

Agar berorientasi kedaulatan pangan, maka HPP pada Inpres itu harus ditetapkan sebagai harga dasar pembelian Bulog. Dengan begitu, acuan kerja Bulog bukan lagi HPP melainkan target cadangan beras pemerintah. Berapapun targetnya, Bulog harus memenuhinya melalui pembelian gabah/beras petani sesuai harga pasar. Selisih kemahalan atas pembelian itu adalah biaya kedaulatan pangan nasional yang harus ditanggung pemerintah.

Ketiga, mengikuti revisi UU Pangan dan Inpres Perberasan itu, Bulog sebaiknya ditetapkan sebagai badan penyangga kedaulatan pangan nasional. Untuk menjalankan fungsi itu Bulog lalu diserahi tanggungjawab pengelolaan “kebun padi nasional” dengan pendekatan kemitraan. Luas tanamnya ditargetkan 1.0 juta ha/ tahun, untuk menghasilkan pasokan cadangan beras pemerintah sedikitnya 4.0 juta ton.

Dengan menempuh tiga langkah tersebut, diharapkan bangsa ini akan terbebas dari permainan jaringan MIB dan perangkap impor beras.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun