Ilustrasi - beras Bulog (KOMPAS/PRIYOMBODO)
Pemerintah akhirnya melanggar komitmen untuk tidak impor beras tahun ini. Oktober lalu (21/10/2015) Presiden Jokowi menyatakan impor beras dari Thailand dan Vietnam untuk menutup perkiraan defisit cadangan Bulog.
Wapres Jusuf Kalla kemudian (26/10/2015) kemudian menegaskan kuota impor itu berkisar 1.0-1.5 juta ton dan dilakukan secara bertahap mulai November 2015. Impor tahap pertama sebanyak 27,065 ton sudah tiba di Tanjung Priok tangal 7 November lalu.
Dengan keputusan impor itu pemerintah telah mengingkari sendiri komitmen kedaulatan pangan nasional yang sedang ditegakkannya. Timbul pertanyaan, ada kekuatan apa sebenarnya di belakang keputusan itu. Lalu, ke depan, adakah langkah dapat diambil untuk terbebas dari impor beras?
Motif Easy Money
Data status perberasan nasional 2015 sebenarnya mengindikasikan surplus sehingga tak perlu impor. Kendati diterpa kemarau panjang akibat El-Nino, berdasar angka ramalan BPS, produksi padi 2015 diperkirakan masih bisa mencapai angka 75.2 juta ton GKP atau setara 40.58 ton beras. Karena konsumsi beras nasional ditaksir 35.45 juta ton, maka terdapat surplus 5.13 juta ton.
Dengan asumsi data BPS valid, maka keputusan impor itu tampaknya bukanlah rentetan dampak El-Nino. Kuat dugaan bahwa kekuatan di balik keputusan itu adalah resistensi jaringan “Mafia Impor Beras” (MIB).
Motif utamanya adalah perolehan big easy money berupa fee impor. Bayangkan, jika besaran fee impor Rp 1.0 milyar per 1,000 ton, maka dari impor beras 1.0 juta ton akan diperoleh total fee Rp 1 triliun.
Demi fee maha-besar itu jaringan MIB akan melakukan siasat apapun untuk memaksakan impor beras. Siasat yang yang lazim dilakukan, pertama, menciptakan defisit fiktif dalam neraca perberasan nasional melalui manipulasi data status perberasan dan/atau rekayasa kelangkaan beras di pasaran. Atau, kedua, menciptakan defisit riil melalui rekayasa kendala produksi, misalnya kelambatan pasokan benih/pupuk/pestisida, yang menyebabkan penurunan produktivitas secara signifikan.
Resistensi jaringan MIB itu sangat liat, sulit dipatahkan. Sebabnya, di dalam jaringan itu berperan juga birokrat dan politisi lapis-atas, demi kepentingan ekonomi-politik masing-masing.
Sedikitnya ada dua indikasi peran birokrat/politisi, langsung atau tidak langsung, dalam jaringan MIB itu. Pertama, kontradiksi data status beras nasional antar institusi pemerintah khususnya Bulog/BUMN dan Kementan yang kerap terjadi. Tahun 2015 misalnya, data Kementan mengindikasikan surplus beras sehingga tak perlu impor. Sebaliknya data Bulog mengindikasikan defisit sehingga harus impor beras.