Cara yang lazim ditempuh untuk menjamin kenyamanan dan keamanan subyek tulisan adalah penggunaan pseudonim. Nama-nama orang dan lokasi disamarkan, sehingga tidak bisa dideteksi oleh pihak lain yang mungkin menjadi ancaman.
Misalnya, jika melaporkan kasus korupsi di sebuah desa, maka nama narasumber disamarkan.
Tapi ada kalanya tidak mungkin menggunakan cara pseudonim itu. Artikel Ngesti tampaknya tergolong kategori ini. Karena Ngesti hanya melaporkan "percobaan pembakaran kerupuk" yang dilakukannya.
Dalam kasus seperti itu maka yang berlaku adalah pertimbangan etis penulis sendiri tentang manfaat atau mudarat sebuah tulisan, bagi masyarakat dan dirinya sendiri sebagai penulis.
Panduannya di sini, persis motto Kompasiana TV, adalah "esensi bukan sensasi". Jika hanya mengejar sensasi, maka Ngesti sudah di jalan yang benar. Kurang lebih itu semacam jurnalisme infotainment.
Tapi jika mengejar esensi, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah "check and recheck". Jika mengambil kasus artikel Ngesti, maka yang harus dilakukan sebenarnya adalah memeriksa rujukan untuk mencari tahu mengapa kerupuk bisa terbakar. Bukannya langsung melaporkannya ke khalayak. Ini sama nilainya dengan gosip.
Seandainya berdasar perujukan diketahui bahwa kerupuk mestinya tidak bisa terbakar, barulah boleh dipublikasikan temuan itu, lengkap dengan penjelasan tentang penyebab dan akibatnya. Ini namanya publikasi yang bertanggungjawab secara etik.
Intinya, sebuah tulisan disebut bertanggungjawab secara etik jika memberikan manfaat bagi khalayak. Jika harus ada mudaratnya, maka itu harus berlaku bagi "musuh masyarakat".
Jadi, mari kita selalu mawas diri, agar selalu menjadi penulis yang bertanggungjawab secara etik. Istilah saya, jangan nyakitin orang lain.(*)
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI