Â
Artikel Kompasianer Ngesti SM, "Ngeri! Kerupuk Ini Bahan Bakar atau Makanan?", yang ditayangkan Kompasiana hari Jumat 14/8/15 kemarin, menimbulkan kontroversi.
Bantahan sangat keras terutama dilontarkan Kompasianer Adhieyasa A. dan A. Latief A.A. Intinya, keduanya menegaskan bahwa artikel Ngesti sangat menyesatkan dan bisa menghancurkan industri kerupuk rakyat.
Menyesatkan karena semua kerupuk memang bersifat "mudah terbakar", karena mengandung karbohidrat dan minyak goreng.
Bisa menghancurkan industri kerupuk rakyat karena akan menimbulkan persepsi negatif atas kerupuk, sehingga permintaan kerupuk akan anjlok.
Kompasianer A. Latief dalam waktu singkat kemudian telah menerbitkan artikel bantahan yang elegan terhadap artikel Ngesti. Selain menjelaskan secara teknis mengapa kerupuk bisa terbakar, dalam artikel "Ini Bantahan Artikel Kerupuk Bahan Bakar Atau Makanan" yang ditulisnya, A.Latief mewanti-wanti agar penulis/Kompasianer dan Kompasiana jangan jadi "pembunuh".
Maksudnya, artikel di Kompasiana jangan sampai menghancurkan karakter, karir, atau mata pencaharian seseorang atau sekelompok orang.
Wanti-wanti itu merupakan poin terpenting, karena menyangkut etika publikasi tulisan, entah itu opini maupun reportase berdasar pengamatan.
Mudah-mudahan semua Kompasianer sebenarnya sudah paham etika publikasi, sehingga saya hanya sekadar mengingatkan saja di sini.
Etika pokok dalam publikasi tulisan adalah "tidak menimbulkan resiko kenyamanan dan keamanan bagi subyek yang dibahas dalam tulisan". Itu namanya tanggungjawab etik.
Artikel Ngesti sedikit-banyak melanggar etika ini karena berpotensi mengganggu keamanan ekonomi para pelaku industri kerpuk rakyat.
Cara yang lazim ditempuh untuk menjamin kenyamanan dan keamanan subyek tulisan adalah penggunaan pseudonim. Nama-nama orang dan lokasi disamarkan, sehingga tidak bisa dideteksi oleh pihak lain yang mungkin menjadi ancaman.
Misalnya, jika melaporkan kasus korupsi di sebuah desa, maka nama narasumber disamarkan.
Tapi ada kalanya tidak mungkin menggunakan cara pseudonim itu. Artikel Ngesti tampaknya tergolong kategori ini. Karena Ngesti hanya melaporkan "percobaan pembakaran kerupuk" yang dilakukannya.
Dalam kasus seperti itu maka yang berlaku adalah pertimbangan etis penulis sendiri tentang manfaat atau mudarat sebuah tulisan, bagi masyarakat dan dirinya sendiri sebagai penulis.
Panduannya di sini, persis motto Kompasiana TV, adalah "esensi bukan sensasi". Jika hanya mengejar sensasi, maka Ngesti sudah di jalan yang benar. Kurang lebih itu semacam jurnalisme infotainment.
Tapi jika mengejar esensi, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah "check and recheck". Jika mengambil kasus artikel Ngesti, maka yang harus dilakukan sebenarnya adalah memeriksa rujukan untuk mencari tahu mengapa kerupuk bisa terbakar. Bukannya langsung melaporkannya ke khalayak. Ini sama nilainya dengan gosip.
Seandainya berdasar perujukan diketahui bahwa kerupuk mestinya tidak bisa terbakar, barulah boleh dipublikasikan temuan itu, lengkap dengan penjelasan tentang penyebab dan akibatnya. Ini namanya publikasi yang bertanggungjawab secara etik.
Intinya, sebuah tulisan disebut bertanggungjawab secara etik jika memberikan manfaat bagi khalayak. Jika harus ada mudaratnya, maka itu harus berlaku bagi "musuh masyarakat".
Jadi, mari kita selalu mawas diri, agar selalu menjadi penulis yang bertanggungjawab secara etik. Istilah saya, jangan nyakitin orang lain.(*)
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI