Â
Diolah Sendiri
Kebun kopi itu sebenarnya sumber nafkah untuk kakek-nenekku. Selain sawah, ternak kerbau, dan ternak babi. Hasil sawah, sebagian besar dimakan sendiri. Kerbau dan babi biasanya dijual jika ada keperluan biaya besar, semisal membangun rumah atau menyekolahkan anak ke perguruan tinggi. Nah, kebun kopi itu menjadi sumber pendapatan tunai rutin, mingguan.
Setelah dipetik, nenekku akan menumbuk kopi di lesung kayu, untuk melepas kulit dari biji. Kopi kemudian dijemur sampai kering. Tiap hari Jum’at, nenekku akan menumbuk ulang biji kopi yang sudah kering, lalu menampinya, agar semua kulit lepas terbuang menyisakan biji-biji kopi murni yang bersih mengkilat.
Biji-biji kopi itu, dalam hitungan kiloan, hari Sabtu esoknya akan dibawa nenekku ke Pasar Tigaraja, Parapat untuk dijual kepada pedagang pengumpul di sana. Hasil penjualannya digunakan untuk belanja keperluan dapur selama seminggu, antara lain garam, gula, bumbu dapur, ikan teri, dan ikan asin. Dan yang terpenting, membeli tembakau berikut kertas lintingannya untuk kakekku.
Tentu saja tidak semua biji kopi dijual. Sebagian disisakan untuk konsumsi sendiri. Diolah sendiri untuk dinikmati pagi ataupun sore hari.
Nah, proses pengolahan itulah yang membuat kenikmatan kopi racikan nenekku menjadi sempurna. Nenekku akan menggongseng biji kopi di perapian di sore hari. Perlahan tapi pasti, seiring perubahan warna biji kopi dari putih gading kehijauan menjadi cokelat kehitaman, aroma kopi robusta akan memenuhi dapur, tembus ke ruang tengah, menerobos jendela mengirim pesan kenikmatan tidak saja kepadaku dan kakekku, tapi juga kepada tetangga sebelah rumah.
Biji kopi yang sudah matang digongseng itu kemudian ditumbuk nenekku di lumpang kayu kesayangannya. Selama proses tumbuk kopi itu, aroma nikmatnya terus menjalar ke segara penjuru. Tepung kopi hasil tumbukan itu kemudian diayak untuk mendapatkan bubuk kopi yang benar-benar halus dan lembut. Itulah bubuk kopi terbaik sedunia, sepanjang yang aku tahu sampai sekarang.
Bubuk kopi terbaik sedunia itu kemudian diseduh nenekku dalam tiga cangkir kaleng beremail, dengan tambahan sedikit gula pasir. Lalu disajikan kepadaku dan kakekku, di atas tikar mendong, lengkap dengan sepiring singkong rebus maha-pulen yang masih mengepulkan asap.
Kakekku dan aku akan menyeruput kopi panas itu, merasakan sensasi kenikmatan rasa pahitnya yang tak terlalu tajam lagi di lidah, sekalian menghirup gairah yang melekat pada aromanya. Lalu, dengan mata sedikit terpejam, segera setelah kehangatan kopi menjalari kerongkongan hingga lambung, mulut lalu terbuka mendesahkan kenikmatan tiada tara. Sssss...hhhhhhaaaahhhh…..nikmaaaaath!
Apakah berlebihan kalau aku katakan secangkir kopi buatan nenekku terhebat sedunia? Jika ada yang membantahnya, beritahu aku, dimana di pelosok dunia ini ada kedai kopi yang bisa menyajikan kenikmatan kopi seperti bikinan nenekku. Kenikmatan yang sempurna, yang terasakan sejak memetik biji-biji kopi ranum di pohonnya sampai pada tegukan terakhir yang tersisa pada secangkir kopi.