Dari perspektif sosiologi, terbawanya Dahlan Iskan (DI), Menteri BUMN 2011-2014, menjadi tersangka korupsi dalam proyek pembangunan 21 unit gardu induk PLN, dapat diterangkan sebagai ekses “inersia sosial” (social innertia) dalam korporasi BUMN khususnya PLN.
Inersia sosial menunjuk pada gejala resistensi terhadap perubahan atau kecenderungan bertahan pada posisi lama (status quo). Diterapkan pada korporasi BUMN, inersia sosial menunjuk pada tendensi bertahan pada sistem lama, padahal kebijakan/programnya mempersyaratkan perubahan sistemik.
Gejala inersia sosial menyebabkan deviasi negatif, yaitu capaian lebih rendah dari target kebijakan/program. Deviasi itulah yang, dari sisi hukum, dilihat sebagai indikasi pelanggaran semisal tindak korupsi.
Di lingkungan BUMN, inersia sosial sebenarnya bukan spesifik PLN tetapi sudah menggejala di semua korporasi. Karena itu, untuk mencegah terulangnya kasus semacam “gardu listrik” itu, penting memahami mengapa inersia sosial terjadi dan bagaimana solusinya.
Diskresi vs Resistensi
Inersia sosial dalam korporasi BUMN dapat terjadi akibat antara lain kebijakan diskresi pimpinan di satu pihak dan sikap resistensi staf di lain pihak. Pangkal resistensi adalah keengganan birokrasi korporasi BUMN, yang terbiasa bekerja “normal”, untuk bekerja “abnormal” sesuai tuntutan diskresi.
Ambil kasus pembangunan 21 unit gardu induk PLN (2011-2013) sebagai contoh. Waktu itu (2011) DI mengambil langkah diskresi berupa percepatan pembangunan gardu demi mengatasi krisis listrik.
Langkah diskresi DI ternyata “menerobos” dua peraturan yang, jika dipatuhi, akan melambatkan pembangunan gardu. Pertama, DI menjamin bahwa pembebasan lahan sudah selesai, sebagai syarat pencairan dana tahun jamak oleh Depkeu, padahal sebenarnya akan dibebaskan bersamaan dengan pelaksanaan proyek. Kedua, DI tidak memberlakukan pembayaran proyek per kemajuan kerja, melainkan per material dengan maksud mempercepat proses pembangunan.
Langkah diskresi semacam itu menuntut disiplin dan kerja keras dari birokrasi PLN. Pertama, PLN harus mampu membebaskan seluruh lahan lokasi seiring proses pembangunan gardu. Kedua, PLN harus mampu membangun gardu tahap demi tahap seiring pembelian material. Dengan begitu dapat dipastikan seluruh gardu berdiri dan beroperasi begitu proyek berakhir (2013).
Rupanya birokrasi PLN bekerja di bawah standar tuntutan diskresi. Terbukti hanya 5 unit gardu yang selesai, 3 unit dikerjakan tanpa kontrak , dan 13 unit terbengkalai. Artinya terjadi deviasi negatif yang, ketika nilainya dihitung oleh Kejakti DKI Jakarta, mencapai Rp 33.2 milyar. Nilai ini dianggap kerugian negara yang diduga terjadi akibat moral hazard (korupsi) dalam proses pembangunan gardu.
Ketakmampuan PLN bekerja sesuai tuntutan diskresi menunjuk pada gejala inersia sosial. Harusnya PLN melakukan perubahan struktur/kultur untuk menciptakan iklim kerja keras dan disiplin tinggi. Misalnya membentuk “satuan tugas khusus” untuk mengawal pembangunan 21 gardu induk. Fungsinya antara lain memastikan pembebasan lahan, pembelian material, dan tahapan pembangunan gardu berlangsung secara simultan dan tepat waktu, sehingga tidak ada keterlambatan dan inefisiensi.
Tapi PLN memilih menjalankan proyek tersebut secara business as usual. Dengan kata lain inersia sosial, bertahan pada cara lama. Akibatnya terjadi banyak inkonsistensi yang menghasilkan deviasi yang mengarah pada korupsi. Deviasi ini adalah ekses inersia sosial yang mengantar DI sebagai tersangka.
Kemiskinan Inovasi
Inovasi sebagai “destruksi kreatif” (J. Schumpeter), merupakan barang langka di BUMN termasuk PLN. BUMN mengalami gejala kemiskinan inovasi manajerial/teknis, sehingga tak mampu merespon kebijakan/program diskretif.
Gejala itu sangat nyata semasa DI menjabat Menteri BUMN. Sering DI sudah melangkah jauh di depan dengan diskresinya, misalnya terkait pembangunan gardu induk itu. Sementara BUMN pelaksana tertinggal jauh di belakang dalam langgam business as usual, karena masih mengandalkan struktur/kultur lama untuk menanganinya. Akibatnya pelaksanaan program tertatih-tatih, sehingga terjadi deviasi antara target dengan realisasi.
Banyaknya pagar peraturan pemerintah sering dituding sebagai penyebab kemiskinan inovasi di lingkungan BUMN. Resiko-resiko hukum menyebabkan Direksi alergi pada inovasi dalam arti “destruksi kreatif” atau “terobosan”. Sebab salah-salah kelak bisa dinilai melanggar hukum lalu disangka korupsi. Akibatnya BUMN memilih main aman, atau innersia sosial, dengan prinsip “lebih baik konservatif tapi aman ketimbang inovatif tapi celaka”.
Langkah Presiden Jokowi menerbitkan peraturan untuk melindungi Kuasa Pengguna Anggaran (Dirut BUMN) dari sangkaan korupsi merupakan solusi yang baik. Tetapi itu saja tidak cukup.
Jauh lebih penting dari sekadar peraturan semacam itu adalah langkah “revolusi mental” di lingkungan korporasi BUMN. Menteri BUMN dapat memimpin “revolusi mental” itu dengan mengambil langkah-langkah radikal.
Langkah yang dimaksud, pertama, menjalankan program reinventing BUMN untuk transformasi struktur/kultur dari organisasi birokratis yang kaku/lamban/inefisien menjadi organisasi korporatis yang luwes/cergas/efisien.
Kedua, mengevaluasi semua peraturan pemerintah yang memagari kegiatan BUMN, khususnya terkait anggaran/keuangan, lalu merevisi/menghapus peraturan yang menghambat terobosan inovatif.
Ketiga, membangun sistem pengawalan melekat pada korporasi BUMN dengan cara menyertakan unsur kejaksaan dalam pelaksanaan setiap proyek besar BUMN, untuk memastikan tidak terjadinya tindakan-tindakan melanggar hukum.
Melalui tiga langkah mendasar itu, korporasi BUMN bukan saja akan terhindar dari kasus-kasus deviasi semacam kasus gardu induk itu, tapi niscaya akan bertransformasi menjadi korporasi yang kaya inovasi, efisien, berdaya-saing, dan hebat. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H