Tapi PLN memilih menjalankan proyek tersebut secara business as usual. Dengan kata lain inersia sosial, bertahan pada cara lama. Akibatnya terjadi banyak inkonsistensi yang menghasilkan deviasi yang mengarah pada korupsi. Deviasi ini adalah ekses inersia sosial yang mengantar DI sebagai tersangka.
Kemiskinan Inovasi
Inovasi sebagai “destruksi kreatif” (J. Schumpeter), merupakan barang langka di BUMN termasuk PLN. BUMN mengalami gejala kemiskinan inovasi manajerial/teknis, sehingga tak mampu merespon kebijakan/program diskretif.
Gejala itu sangat nyata semasa DI menjabat Menteri BUMN. Sering DI sudah melangkah jauh di depan dengan diskresinya, misalnya terkait pembangunan gardu induk itu. Sementara BUMN pelaksana tertinggal jauh di belakang dalam langgam business as usual, karena masih mengandalkan struktur/kultur lama untuk menanganinya. Akibatnya pelaksanaan program tertatih-tatih, sehingga terjadi deviasi antara target dengan realisasi.
Banyaknya pagar peraturan pemerintah sering dituding sebagai penyebab kemiskinan inovasi di lingkungan BUMN. Resiko-resiko hukum menyebabkan Direksi alergi pada inovasi dalam arti “destruksi kreatif” atau “terobosan”. Sebab salah-salah kelak bisa dinilai melanggar hukum lalu disangka korupsi. Akibatnya BUMN memilih main aman, atau innersia sosial, dengan prinsip “lebih baik konservatif tapi aman ketimbang inovatif tapi celaka”.
Langkah Presiden Jokowi menerbitkan peraturan untuk melindungi Kuasa Pengguna Anggaran (Dirut BUMN) dari sangkaan korupsi merupakan solusi yang baik. Tetapi itu saja tidak cukup.
Jauh lebih penting dari sekadar peraturan semacam itu adalah langkah “revolusi mental” di lingkungan korporasi BUMN. Menteri BUMN dapat memimpin “revolusi mental” itu dengan mengambil langkah-langkah radikal.
Langkah yang dimaksud, pertama, menjalankan program reinventing BUMN untuk transformasi struktur/kultur dari organisasi birokratis yang kaku/lamban/inefisien menjadi organisasi korporatis yang luwes/cergas/efisien.
Kedua, mengevaluasi semua peraturan pemerintah yang memagari kegiatan BUMN, khususnya terkait anggaran/keuangan, lalu merevisi/menghapus peraturan yang menghambat terobosan inovatif.
Ketiga, membangun sistem pengawalan melekat pada korporasi BUMN dengan cara menyertakan unsur kejaksaan dalam pelaksanaan setiap proyek besar BUMN, untuk memastikan tidak terjadinya tindakan-tindakan melanggar hukum.
Melalui tiga langkah mendasar itu, korporasi BUMN bukan saja akan terhindar dari kasus-kasus deviasi semacam kasus gardu induk itu, tapi niscaya akan bertransformasi menjadi korporasi yang kaya inovasi, efisien, berdaya-saing, dan hebat. (*)