Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Prostitusi dan Korupsi, dari “Life Chances” ke “Lifestyle”

13 Mei 2015   09:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:06 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14314962691514531533

Jelas di sini, prostitusi dan korupsi adalah "jalan terabas". Itu dua cara "cepat"dan "mudah"untuk menghasilkan banyak uang.

Bayangkan, seorang prostitut bisa menjual "barang" miliknya dengan harga Rp 80 juta untuksatu "masa" (jangka pendek) pemakaian oleh "konsumen"-nya. Satu "masa" itu mungkin hanya 1 hari, atau katakanlah 4 hari. Jika dia bisa menjualnya sebanyak empat "masa" dalam sebulan, berarti penghasilannya 4 x Rp 80 juta = Rp 320 juta per bulan. Ini jauh di atas gajianggota DPR/DPRD, bupati/walikota, gubernur, menteri, bahkan presiden. Bukankah itu kesempatan ekonomi yang menggiurkan?

Lalu bayangkan pula seorang koruptor bisa membubuhkan tandatangan untuk "melegalkan" transaksi illegal, lalu besoknya Rp 10 milyar bertambah secara sim salabim di "rekening gendut"-nya. Memang resikonya sungguh besar. Tapi bukankah ini kesempatan ekonomi yang sangat menggiurkan?

"Mentalitas menerabas", meminjam istilah Koentjaraningrat, itulah satu-satunya syarat yang diperlukan untuk mengambil "jalan terabas" itu. Atau tepatnya, untuk menjadi seorang prostitut atau koruptor.

Jelas kiranya, menjadi seorang prostitut atau koruptor adalah sebuah pilihan untuk melakukan sebuah "tindakan rasional ekonomis", meminjam istilah Max Weber lagi. Itu sudah didasarkan pada hitungan-hitungan atas korbanan/resiko (input/risks) dan hasil/manfaat (output/benefit).

Menjadi prostitut atau koruptor dengan demikian tidak ada kaitannya dengan kebodohan (pendidikan rendah) dan kemiskinan. Dalam kenyataaannya mereka tergolong pintar (berpendidikan) dan kaya, terutama kalangan prostitut dan koruptor kelas menengah/atas.

"Hebat"-nya lagi, prostitut dan koruptor itu ternyata dipertemukan oleh kepentingan yang sama, yaitu lifestyle. Saya akan tunjukkan di bawah ini.

Lifestyle

Lifestyle (gaya-hidup) dapat diartikan sebagai cara seseorang menjalani hidup, termasuk di sini soal gaya, perilaku, dan pemilikan. Misalkan, seseorang baru merasakan hidupnya sebagai hidup yang sebenarnya, jika barang-barang yang melekat di tubuhnya branded items, gadgednya rare items/limited editions, tempatnya makan di restoran eksklusif, mobilnyasuper-luxury, rumahnya super-mewah, iburannya di resort pribadi, dan lain-lain sejenis itu.Semua yang disebut itu adalah status symbols, penanda "aku siapa".

Hanya satu yang diperlukan untuk mewujudkan lifestyle semacam itu: Uang! Begitulah, prostitut dan koruptor mengejar lifestyle mewah, untuk menunjukkan "aku-siapa"-nya. Maka, lihatlah, di layar televisi tampil perempuan-perempuan yang menyebut diri "artis", memamerkan puluhan aksesoris miliknya yang konon harga per item sampai ratusan juta.

Tak ayal, hal semacam itu membuat misalnya Kompasianer Ifani mencak-mencak. Bagaimana mungkin seorang artis yang tak pernah main sinetron/film dan tak pernah nyanyi bisa punya uang sebegitu banyaknya? Ifani lupa, mereka bukan artis, tapi "artos" (Bah. Sunda = uang).Tubuhnya punya nilai jual senilai uang misalnya Rp 80 juta. Kenapa bingung?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun