Ini fakta. Hasil survei beneran. Data ada di Kompasiana.com. Setelah dikumpul, diolah, dan ditafsir, hasilnya seperti itu.
Cerita survei selengkapnya, begini. Awalnya kerisauan pribadi. Kenapa kalau saya nulis humor, kok sedikit yang baca. Tapi kalau nulis politik, nah, lebih banyak yang baca.
Timbullah kreativitas iseng. Saya coba periksa 30 postingan "politik" tanggal 24-25 September ke belakang, Periksa urut kacang saja, dari atas ke bawah. Lalu saya hitung rata-rata hit atau keterbacaannya, ketemu: 233 hit. Artinya tiap postingan "politik" dikonsumsi atau dibaca 233 kali.
Cara serupa saya lakukan pada 30 postingan "humor". Ternyata rentang waktu untuk mendapat 30 postingan itu lebih lama, 21-25 September. Dihitung rata-rata hit-nya, ketemu 134 hit. Artinya tiap postingan humor dibaca 134 kali.
Perhatikan. Untuk mendapat 30 postingan, hanya perlu 2 hari untuk politik, tapi 5 hari untuk humor. Artinya,"produksi" postingan politik lebih tinggi dibanding humor.
Sekarang tafsirnya. Mengapa disimpulkan Kompasianer lebih suka "muceng" (muka kenceng) daripada "ngakak" (tertawa)? Karena postingan politik sebenarnya lebih berat, perlu mikir dikit, sambil dahi kerinyit. Setel muka kenceng, muceng, begitulah. Nah, lihatlah bukti data produksi dan konsumsi postingan politik di atas. Ternyata lebih banyak Komposianer yang memutuskan untuk muceng, kan?
Bandingkan dengan data produksi dan konsumsi humor. Per harinya lebih sedikit. Artinya lebih sedikit Kompasianer yang memutuskan untuk ngakak, kan?
Sekarang, penjelasan, atau istilah kerennya, analisis (biar terkesan ilmiah). Mengapa Kompasianer lebih suka muceng ketimbang ngakak? "Oh, itu tandanya kesadaran dan partisipasi politik Kompasianer sudah tinggi," begitu jawaban pengamat politik negara "Netizenesia", mungkin.
Jawaban itu, mungkin saja benar. Tapi ada dua penjelasan lain yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, penjelasan anekdotal. Mulai dari pertanyaan: "Mengapa panggung Srimulat di Taman Ria Senayan tempo dulu tutup?"Â Jawabannya: "Karena di sebelahnya muncul panggung wakil rakyat yang jauh lebih lucu." Nah, daripada bayar untuk nonton Srimulat yang gak lucu lagi, kan lebih baik gratis nonton wakil rakyat yang lucu ke ubun-ubun?
Begitu pula cara pikir kebanyakan Kompasianer, mungkin. Dari pada baca humor yang gak lucu, bohong pula, kan lebih baik baca politik yang jauh lebih lucu. Soal bohongnya, mungkin sama saja.
Kedua, penjelasan kultural a'la Clifford Geertz, antropolog Amerika yang sangat khatam soal budaya Jawa dan Bali, penulis masterpice The Religion of Java. Kalau pernah baca atau dengar tentang tiga tipe manusia Jawa, yaitu "santri", "abangan", dan "priyayi", nah, dialah orangnya yang membuat itu.
Penjelasan kultural Geertz adalah "menyatakan sesuatu dari sesuatu" (Nah, lo, puyeng, puyeng deh. Tapi, sumpah, ini tidak terkait "sesuatu"-nya Syaharini, entah siapa orang ini).
Agar jelas, kita baca saja penelitian antropologis Geertz tentang fenomena "sabung ayam" di Bali. Nah, catat, "sabung ayam" ini kita namai "Sesuatu 1". Menurut Geerz, dengan "sabung ayam" itu, orang Bali sebenarnya sedang menyatakan, tepatnya melampiaskan, segala "energi negatif " dalam dirinya, misalnya kekesalan, kemarahan, persaingan, kesombongan, dan sebagainya. Catat lagi, "energi negatif " itu kita namai "Sesuatu 2". Nah, sekarang jelas, dengan "sabung ayam" orang Bali melampiaskan (menyatakan) "energi negatif", dengan kata lain katarsis.
Implikasinya, kira-kira, kalau sabung ayam dilarang, dan memang sekarang dilarang di Bali, maka kemungkinan katarsisnya berubah menjadi tawur antar kampung. Dan itu sudah terjadi di Bali.
Bagaimana dengan Kompasianer muceng? Nah, kalau meniru cara tafsir Geertz, maka "menulis dan membaca politik" (Sesuatu 1) di Kompasiana, adalah cara Kompasianer melepaskan "energi negatif" (Sesuatu 2) dalam dirinya, misalnya kekesalan, kemuakan, dan kemarahan pada para politisi. Setelah nulis, atau baca, lega rasanya. Katarsis, sudah.
Situasi politik kita, terutama akhir-akhir ini, memang bikin kita kesal, muak, dan marah melulu. Sampai kita lupa tertawa.
Terlebih hari ini, 26 September 2014, ketika DPR memutuskan mengganti Pilkada Langsung dengan Pilkada DPRD. Rakyat baru saja kerampokan suara. Di jalanan, pagi ini, terlihat lebih banyak orang cemberut marah daripada senyum. Perlu katarsis.
Bicara soal katarsis ini, guru saya pernah bilang, "Kalau kau sangat marah pada temanmu, tontonlah Mohamad Ali menggebuki Foreman, bayangkan dirimu Ali dan temanmu Foreman." Dan nasihat itu memang sungguh manjur.(*)
(Btw, teman-teman Kompasianer senior, bagaimana ya cara mendapatkan "cawang putih dalam spot ijo"?)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H