Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Meneliti Itu Gampang #01: Gawat! Kompasianer Lebih Suka Muceng Ketimbang Ngakak

26 September 2014   15:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:27 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begitu pula cara pikir kebanyakan Kompasianer, mungkin. Dari pada baca humor yang gak lucu, bohong pula, kan lebih baik baca politik yang jauh lebih lucu. Soal bohongnya, mungkin sama saja.

Kedua, penjelasan kultural a'la Clifford Geertz, antropolog Amerika yang sangat khatam soal budaya Jawa dan Bali, penulis masterpice The Religion of Java. Kalau pernah baca atau dengar tentang tiga tipe manusia Jawa, yaitu "santri", "abangan", dan "priyayi", nah, dialah orangnya yang membuat itu.

Penjelasan kultural Geertz adalah "menyatakan sesuatu dari sesuatu" (Nah, lo, puyeng, puyeng deh. Tapi, sumpah, ini tidak terkait "sesuatu"-nya Syaharini, entah siapa orang ini).

Agar jelas, kita baca saja penelitian antropologis Geertz tentang fenomena "sabung ayam" di Bali. Nah, catat, "sabung ayam" ini kita namai "Sesuatu 1". Menurut Geerz, dengan "sabung ayam" itu, orang Bali sebenarnya sedang menyatakan, tepatnya melampiaskan, segala "energi negatif " dalam dirinya, misalnya kekesalan, kemarahan, persaingan, kesombongan, dan sebagainya.  Catat lagi, "energi negatif " itu kita namai "Sesuatu 2". Nah, sekarang jelas, dengan "sabung ayam" orang Bali melampiaskan (menyatakan) "energi negatif", dengan kata lain katarsis.

Implikasinya, kira-kira, kalau sabung ayam dilarang, dan memang sekarang dilarang di Bali, maka kemungkinan katarsisnya berubah menjadi tawur antar kampung. Dan itu sudah terjadi di Bali.

Bagaimana dengan Kompasianer muceng? Nah, kalau meniru cara tafsir Geertz, maka "menulis dan membaca politik" (Sesuatu 1) di Kompasiana, adalah cara Kompasianer melepaskan "energi negatif" (Sesuatu 2) dalam dirinya, misalnya kekesalan, kemuakan, dan kemarahan pada para politisi. Setelah nulis, atau baca, lega rasanya.  Katarsis, sudah.

Situasi politik kita, terutama akhir-akhir ini, memang bikin kita kesal, muak, dan marah melulu. Sampai kita lupa tertawa.

Terlebih hari ini, 26 September 2014, ketika DPR memutuskan mengganti Pilkada Langsung dengan Pilkada DPRD.  Rakyat baru saja kerampokan suara. Di jalanan, pagi ini, terlihat lebih banyak orang cemberut marah daripada senyum. Perlu katarsis.

Bicara soal katarsis ini, guru saya pernah bilang, "Kalau kau sangat marah pada temanmu, tontonlah Mohamad Ali menggebuki Foreman, bayangkan dirimu Ali dan temanmu Foreman." Dan nasihat itu memang sungguh manjur.(*)

(Btw, teman-teman Kompasianer senior, bagaimana ya cara mendapatkan "cawang putih dalam spot ijo"?)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun