Begitu pula cara pikir kebanyakan Kompasianer, mungkin. Dari pada baca humor yang gak lucu, bohong pula, kan lebih baik baca politik yang jauh lebih lucu. Soal bohongnya, mungkin sama saja.
Kedua, penjelasan kultural a'la Clifford Geertz, antropolog Amerika yang sangat khatam soal budaya Jawa dan Bali, penulis masterpice The Religion of Java. Kalau pernah baca atau dengar tentang tiga tipe manusia Jawa, yaitu "santri", "abangan", dan "priyayi", nah, dialah orangnya yang membuat itu.
Penjelasan kultural Geertz adalah "menyatakan sesuatu dari sesuatu" (Nah, lo, puyeng, puyeng deh. Tapi, sumpah, ini tidak terkait "sesuatu"-nya Syaharini, entah siapa orang ini).
Agar jelas, kita baca saja penelitian antropologis Geertz tentang fenomena "sabung ayam" di Bali. Nah, catat, "sabung ayam" ini kita namai "Sesuatu 1". Menurut Geerz, dengan "sabung ayam" itu, orang Bali sebenarnya sedang menyatakan, tepatnya melampiaskan, segala "energi negatif " dalam dirinya, misalnya kekesalan, kemarahan, persaingan, kesombongan, dan sebagainya. Catat lagi, "energi negatif " itu kita namai "Sesuatu 2". Nah, sekarang jelas, dengan "sabung ayam" orang Bali melampiaskan (menyatakan) "energi negatif", dengan kata lain katarsis.
Implikasinya, kira-kira, kalau sabung ayam dilarang, dan memang sekarang dilarang di Bali, maka kemungkinan katarsisnya berubah menjadi tawur antar kampung. Dan itu sudah terjadi di Bali.
Bagaimana dengan Kompasianer muceng? Nah, kalau meniru cara tafsir Geertz, maka "menulis dan membaca politik" (Sesuatu 1) di Kompasiana, adalah cara Kompasianer melepaskan "energi negatif" (Sesuatu 2) dalam dirinya, misalnya kekesalan, kemuakan, dan kemarahan pada para politisi. Setelah nulis, atau baca, lega rasanya. Katarsis, sudah.
Situasi politik kita, terutama akhir-akhir ini, memang bikin kita kesal, muak, dan marah melulu. Sampai kita lupa tertawa.
Terlebih hari ini, 26 September 2014, ketika DPR memutuskan mengganti Pilkada Langsung dengan Pilkada DPRD. Rakyat baru saja kerampokan suara. Di jalanan, pagi ini, terlihat lebih banyak orang cemberut marah daripada senyum. Perlu katarsis.
Bicara soal katarsis ini, guru saya pernah bilang, "Kalau kau sangat marah pada temanmu, tontonlah Mohamad Ali menggebuki Foreman, bayangkan dirimu Ali dan temanmu Foreman." Dan nasihat itu memang sungguh manjur.(*)
(Btw, teman-teman Kompasianer senior, bagaimana ya cara mendapatkan "cawang putih dalam spot ijo"?)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H