Mengawali tulisan singkat ini, penulis membuka dengan sebuah pernyataan bahwa model pendidikan sejak zaman dahulu sekalipun tak ubahnya dijalankan dengan menggunakan sistem buruh. Anak-anak diatur dengan duduk rapi berbaris, mengangkat tangan dan meminta izin sebelum melakukan sesuatu, duduk selama 6-8 jam sehari dengan waktu istirahat dan waktu makan hanya sekitar 1 jam sehari, semua murid didikte dengan cara yg sama. Jadi, apalah bedanya murid dengan buruh?
Setiap murid mempunyai kapasitas otak dominan yang berbeda. Setiap orang punya kemampuan yang berbeda, punya kreativitas yang berbeda, dan mempunyai mimpi yang berbeda pula. Namun, sekolah sejauh ini masih seolah menyederhanakan semuanya. Berdiri di atas argumen sistem pendidikan yang semakin hari semakin bak menara gading. Albert Einstein pernah berkata, bahwa apabila tingkat kecerdasan itu berlaku universal, dimana ikan dinilai cerdas atau tidak melalui bagaimana cara dirinya memanjat pohon, maka selamanya ikan tersebut akan merasa bodoh.
Mari kita sepakati bersama bahwa tujuan pendidikan dewasa ini dikonstruksikan berdasarkan nilai apa yg anda dapat dalam pelajaran tertentu. Menjadi jenius akan diakui bila anda mendapatkan nilai A di mata pelajaran matematika misalnya. Cukupkah? Mungkin dalam ukuran kecerdasan intelektual mereka memang cerdas. Tapi di dalam kehidupan yang kompleks ini, kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial lebih bernilai dibanding sekedar goresan angka dan huruf di atas kertas.
Dunia sekolah tak ubahnya mesin di sebuah pabrik. Mencoba mengemas individu yang berkemampuan terukur (kecerdasan intelektual ) dan meleburnya ke dalam sebuah sistem. Sedangkan yang mempunyai kemampuan tidak terukur (kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial) seolah tidak diperhatikan dan bahkan tidak diapresiasi. Padahal, tugas penting dari sekolah yang terpenting adalah membentuk manusia agar mampu menerjemahkan budaya, bukan mempolariasi budaya.
Finlandia dikenal sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Jam sekolah yg digunakan sangat singkat, hanya sekitar 5-6 jam sehari. Ada yang berpikir bahwa tak jauh berbeda dengan jam belajar di Indonesia? Salah! Dalam kurun waktu 6 jam tersebut, pembelajaran materi di kelas hanya sekitar 3 jam saja per harinya. Sisanya digunakan untuk kegiatan yang berhubungan dengan pembentukan kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial. Hanya dalam kurun waktu 1/4 hari, murid-murid di Finlandia dididik secara seimbang secara intelektualitas, emosionalitas, dan sosial. Inilah yang dinamakan dengan sistem kebutuhan kolektif yang seimbang dan upaya membangun keadaban. Kemajuan dimulai dari membentuk manusia menjadi manusia, bukannya mengukur manusia sesuai dengan standar-standar yg dikamuflasekan sebagai standar ideal.
Dalam perspektif yang lebih luas, politik dan kekuasaan jelas mempengaruhi kultur dan sistem pendidikan. Â Jika berkaca pada 10 besar negara-negara yang silih berganti menempati posisi sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik dunia, terdapat nama Finlandia, Swedia, Norwegia, Korea Selatan, UK, Kanada, Hongkong, Singapura, Denmark, dan Jepang. Intrik politik dan pergantian rezim jelas tak bisa dilepaskan pula dari beberapa negara di atas. Namun 1 hal yang pasti adalah bahwa pendidikan selalu ditempatkan pada posisi tertinggi kebijakan yang diutamakan. Mereka menghabiskan mayoritas GDP negaranya demi pembiayaan pendidikan. Rezim boleh berganti, namun kebijakan pendidikan tidak akan diobrak-abrik dengan mengubah basis tujuan, apalagi disusupi kepentingan politis. Bedanya dengan negara kita adalah pemimpin tidak berpikir jauh kedepan dalam membenahi negara ini. Pemikiran yang digunakan lebih kepada bagaimana membuat 5 tahun kepemimpinan mereka tanpa cacat dengan mengeluarkan program-program yang dapat dinikmati dalam kurun waktu singkat. Sedangkan masalahnya adalah pendidikan tidak dapat dibenahi dan hasilnya dituai dalam waktu singkat. Mana ada pemimpin yang rela bersusah payah membenahi pendidikan dengan spektrum program jangka panjang jikalau hasilnya akan dituai oleh pemimpin setelah mereka. Rugi bandar, bung!Â
Pemikiran seperti inilah yang kemudian perlu dibuang jauh-jauh untuk membenahi negara yang tidak sedang baik-baik saja ini. Harus ada pondasi dan tujuan yang disepakati bersama lintas generasi dengan menegasikan kepentingan politis di dalamnya sehingga setiap pergantian rezim, kebijakan terkait pendidikan tidak off the track dari pondasi dan tujuan yang telah disepakati bersama. Solusi yang bisa dilakukan adalah tak perlu meniru negara-negara maju tersebut secara menyeluruh. Cukup kita sesuaikan dengan kebutuhan di negara ini saja.
Pertama, penerapan jam sekolah 6 jam sehari, dengan pembagian 3 jam pembelajaran intelektualitas, dan 3 jam sisanya diisi dengan pembelajaran emosionalitas dan sosial adalah program yang patut untuk diterapkan.
Kedua, biarkan siswa memilih subjek pelajaran yang sesuai dengan minat dan kemampuannya, bukannya memberikan seluruh mata pelajaran untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi para siswa. Memaksakan sesuatu yg tidak dikehendaki dan diinginkan ibarat memaksa mobil keluarga dapat memiliki kecepatan seperti mobil lamborghini. Sia-sia belaka. Murid tidak boleh dipaksakan untuk menjadi Bank of Education. Sedangkan guru pun tak menguasai seluruh mata pelajaran, mengapa kemudian murid dipaksa untuk menguasai seluruh pelajaran. It doesn't make any sense.
Ketiga, dalam pelaksanaan pendidikan, jadikan aspek lokalitas dan realitas sosial masing-masing daerah sebagai pembelajaran praktis, bukan hanya sebagai tinjauan normatif belaka. Menumbuhkembangkan kesadaran siswa agar peka dan peduli terhadap realitas sosial akan menjadi bekal penting guna mewujudkan pendidikan yang berkeadaban dan merangkul sesama.
Keempat, hapus sistem ranking dari dunia pendidikan di Indonesia. Negara-negara yang maju di bidang pendidikannya tak lagi menggunakan sistem ranking. Mereka percaya bahwa sistem ranking hanya akan menciptakan perbedaan yang lebih mencolok lagi antara mana yang cerdas dan mana yang pintar. Seperti yang telah penulis utarakan sebelumnya, sistem ranking hanya menilai murid dari aspek intelektualitas dan tidak menilai murid dari aspek sosial dan emosional. Sedangkan kecerdasan yang hakiki adalah kecerdasan yang dapat memadukan antara kecerdasan intelektualitas, emosionalitas, dan sosial sebagai basis individu yang beradab. Maka tak usah kemudian kita menggunakan sistem ranking hanya demi memberikan penghargaan pada individu semata.Â