Mohon tunggu...
@Bapaksocio_
@Bapaksocio_ Mohon Tunggu... Penulis - Pengajar dan juga Pembelajar Aktif

Menyukai kajian seputar isu pendidikan, sosial, budaya, dan politik.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Pagi Itu, Tsunami Merubah Dunia Zainab"

26 Desember 2024   10:03 Diperbarui: 26 Desember 2024   10:30 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Pasca Tsunami Aceh (Sumber: BNPB)

Matahari baru saja muncul di ufuk timur Aceh. Langit berwarna biru cerah, dan suara ombak dari kejauhan terdengar seperti biasanya. Pagi itu, di tanggal 26 Desember 2004, semuanya penuh ketenangan. 

Di sebuah desa kecil di tepi pantai, Zainab---seorang gadis remaja berusia 15 tahun---bersiap-siap pergi ke pasar bersama ibunya. Hari itu seperti hari-hari lainnya.  

Namun, semua berubah dalam hitungan detik.  

Tanah di bawah kaki mereka tiba-tiba berguncang keras. Pohon-pohon bergoyang seperti akan roboh, dan rumah-rumah mulai berderak. Zainab terhuyung-huyung, berusaha mencari pegangan. "Gempa!" teriak seseorang. Orang-orang berhamburan keluar rumah. Beberapa jatuh, lainnya berusaha membantu orang-orang terdekatnya.  

Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, gempa berhenti. Desa yang tadinya tenang kini porak poranda. Namun, tidak ada yang menyangka bahwa gempa itu hanyalah awal dari mimpi buruk yang lebih besar.  

Hanya selang beberapa menit setelah gempa, terdengar suara gemuruh dari arah laut. Orang-orang yang penasaran mulai mendekat ke pantai. Zainab ikut berjalan ke arah itu bersama teman-temannya. Namun, saat mereka tiba di tepi pantai, sesuatu yang aneh terlihat---air laut surut dengan cepat, seperti ditarik ke tengah. Dasar laut yang biasanya tersembunyi kini tampak jelas.  

"Kok aneh ya, air lautnya surut?" tanya seorang teman Zainab dengan nada bingung.  

Namun, sebelum ada yang sempat menjawab, terdengar teriakan dari kejauhan, "Lari! Tsunami datang!"  

Zainab menoleh, dan pandangannya langsung tertuju pada gelombang raksasa yang bergerak cepat ke arah mereka. Ia tidak pernah melihat sesuatu yang begitu besar, begitu menakutkan. Orang-orang mulai panik, berlari secepat mungkin menjauh dari pantai. Zainab menggenggam tangan adiknya yang lebih kecil dan berlari sekuat tenaga.  

Namun, gelombang itu terlalu cepat. Dalam hitungan detik, air menghempas semuanya---rumah, pohon, dan orang-orang yang tidak sempat menyelamatkan diri.  

Ketika Zainab sadar, ia menemukan dirinya terdampar di atas puing-puing. Ia basah kuyup, tubuhnya penuh luka, dan di sekelilingnya hanya ada air yang menggenang. Suasana begitu sunyi, hanya terdengar isakan kecil dari beberapa orang yang selamat.  

"Adikmu mana?" suara seorang tetangga menyadarkan Zainab.  

Zainab terdiam. Pandangannya mengitari tempat itu, tapi ia tidak menemukan sosok adiknya. Air matanya langsung mengalir. Ia tidak tahu harus berbuat apa.  

Hari itu, Aceh kehilangan segalanya. Puluhan ribu nyawa melayang dalam sekejap, termasuk keluarga dan teman-teman Zainab. Desa yang dulu penuh tawa kini berubah menjadi puing-puing dan kenangan pahit.  

Namun, di tengah semua kehancuran, Zainab menemukan kekuatan untuk bertahan. Ia mulai membantu para relawan yang datang dari berbagai penjuru dunia. Bersama mereka, ia membantu membagikan makanan, menata ulang tempat tinggal sementara, dan menghibur anak-anak kecil yang kehilangan keluarganya.  

Perlahan, Zainab menyadari bahwa meskipun hidupnya berubah selamanya, ia tidak sendirian. Ada banyak tangan yang terulur untuk membantu, banyak hati yang peduli. Dari bencana itu, ia belajar tentang ketangguhan, harapan, dan bagaimana manusia bisa bangkit bahkan dari luka terdalam.  

Kini, setiap tanggal 26 Desember, Zainab selalu mengenang mereka yang telah pergi. Ia juga mengingat satu hal yang selalu ia sampaikan pada orang-orang di sekitarnya: "Kita mungkin kehilangan banyak, tapi kita masih punya kekuatan untuk membangun kembali."  

Gempa dahsyat dan tsunami 2004 memang mengubah dunia Zainab, tetapi ia memilih untuk tidak hanya menjadi korban. Ia memilih untuk bangkit, untuk menjadi harapan di tengah kehancuran.  

*Dan di situlah ia berdiri sekarang, di tepi pantai yang sama, menatap laut yang dulu menghancurkan segalanya. Kali ini, ia tidak lagi takut. Ia hanya berbisik pada ombak yang tenang, "Aku tidak akan kalah."*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun