Mohon tunggu...
Syarif Tjan
Syarif Tjan Mohon Tunggu... -

Lahir Di Tobelo.Tipikal slengean dan suka menentang arus. Senang menekuni dunia Filsafat dan Tasauf. Waktu senggang dimanfaatkan dengan melukis, menulis, dan clubing. Pernah mampir menimba Ilmu Teknik Lingkungan di STTL Yogyakarta ( 1991), dan menyempatkan diri belajar di Magister Sistem Teknik (MST) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Tahun 2007. Pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Impact semasa kuliah di Yogya.Menulis adalah hobi sejak dari SMA. Pernah menulis di Majalah "Suara Muhammadiyah" Yogyakarta, dan harian Malut Post. Tahun 2004 saya bersama Bapak Mulis Tapi Tapi mendirikan Tabloid Halut Press dan menjadi Pemimpin Redaksi namun hanya bertahan selama 2 tahun. Mendirikan oragnisasi Filantropis "Tjan Institute", sebagai upaya melakukan riset kecil-kecil dibidang lingkungan. Bergelut di dunia konsultan lingkungan untuk menyusun AMDAL, dan UKL/UPL. Selain konsen terhadap masalah lingkungan, sosial politik dan kebudayaan, juga memiliki cita-cita membesarkan usaha "eco- Entrepreneur" sendiri. saat ini suka menggarap banyak pesanan Instalasi Air Limbah dengan biaya murah. Sudah 17 Tahun hidup dan stay di Ternate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jakarta Macet? Pindahkan Ibu Kota!

5 November 2017   03:29 Diperbarui: 15 November 2017   18:19 3070
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berdasarkan indeks kemacetan kota-kota besar diseluruh dunia, sebagaimana yang di rilis TomTom  Traffick Indeks dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Di Tahun 2017, Jakarta berada pada peringkat ke tiga kota dengan tingkat kemacetan 58% dibawah Kota Bangkok 61 %. Sedangkan Mexico menduduki urutan pertama sebagai kota dengan tingkat kemacetan tertinggi 66 %.

Dengan tingkat kemacetan sebesar itu, Jakarta jauh memiliki problem kemacetan yang sangat rumit dari Kota Beijing yang hanya 46 %. Padahal Beijing memiliki jumlah penduduk yang sangat padat kurang lebih 21.7 Juta jiwa  ketimbang Kota Jakarta yang hanya 10 juta penduduk. Membandingkan data penduduk antara kedua Kota ini, maka kemacetan Jakarta menjadi sebuah anomali.  

Orang lebih leluasa berkendaraan di Beijing ketimbang Jakarta.   Dengan level kemacetan diatas, maka waktu tempuh  yang dikeluarkan  dalam melakukan perjalanan di Kota Jakarta akan membuang waktu 58% lebih banyak dari waktu normal (tanpa kemacetan) saat melakukan perjalanan pada jam jam puncak kemacetan. Sedangkan di Beijing para pengendara hanya membuang waktu 46 % dari waktu normal.

Sumber Foto : Antara
Sumber Foto : Antara
Kalau kita mau ulur kebelakang, masalah kemacetan di Jakarta terjadi karena beberapa faktor klasik yang tak pernah terselesaikan dari hari ke hari. Pertama, pembangunan infra struktur jalan yang tidak  berbanding lurus dengan penambahan jumlah kendaraan. Jumlah ruas jalan di Jakarta masih itu --itu saja, sedangkan pertambahan kendaraan dari hari ke hari ikut bertambah.

Kedua, gaya hidup masyarakat menengah (be have) di Jakarta yang sudah terbiasa dengan kebiasaan "one Car one man". Kalau kita mau jujur masing masing anggota keluarga di Jakarta memiliki kendaraan. Bapak, Ibu, Anak, masing-masing punya kendaraan sendiri. Bahkan pembantu juga sudah dibekali dengan mobil operasional rumah tangga.

Ketiga, secara spasial, Pemprov DKI Jakarta mengalami kesulitan mengendalikan terpusatnya berbagai macam kegiatan ekonomi nasional di Jakarta dan sekitarnya ( Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Secara nasional pusat perdagangan dan industri serta pemerintahan terpusat  di Jakarta, sehingga tingkat mobilitas transportasi juga meningkat.

Penyebab ini ikut diperparah lagi dengan pembangunan beberapa kota baru seperti rencana pembangunan Meikarta oleh Lipo Group di jawa barat justru akan menambah kemacetan Jakarta

Disamping itu, rencana Pemerintah Pusat menjadikan  Bekasi sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).  Saya tak bisa membayangkan betapa parahnya kemacetan Jakarta bila KEK Bekasi direalisir. Dipastikan tingkat kesemrawutan dan kemacetan Jakarta akan semakin parah. Bisa dibayangkan sebelum ada KEK bekasi saja kondisi kemacetan Jakarta sudah seperti ini, bagaimana nanti KEK Bekasi terbentuk?

Sumber Foto : Meikarta
Sumber Foto : Meikarta
Solusi kemacetan.

Siapa yang harus disalahkan? Apakah warga Jakarta pemilik mobil? infrastruktur jalan yang tidak memadai? Ataukah jangan --jangan pemerintah yang salah meng-diagnosa masalah kemacetan Jakarta sehingga solusi yang diambil pun tidak kunjung terselesaikan?

Mengatasi kemacetan Jakarta tidak bisa dilihat secara teknis semata. Kemacetan Jakarta harus dilihat secara komprehensif mulai dari hulu sampai hilir. Selama ini penanganan kemacetan Jakarta hanya difokuskan pada problem kemacetan secara in situ semata. Sehingga penanganannya pun terfokus pada aspek teknis seperti membangun Bus Rapid Transit(BRT) atau yang lebih dikenal dengan Trans Jakarta, Mass Rapid Transit (MRT), Light Rapid Transit (LRT),  peningkatan ruas jalan tol, sampai dengan rencana penerapan Electronic Road Pricing (ERP).

Begitu pula dengan penerapan disinsentif seperti menaikan tariff tol, parkir dan lain-lain tidak akan mampu mengatasi kemacetan. Budaya orang jakarta sangat konsumptif, jadi selama ada uang apapun akan dibayar.

Memang harus diakui upaya tersebut, sedikit tidaknya bisa memecahkan persoalan kemacetan Jakarta. Namun dalam jangka panjang, pola penanganan tersebut akan sia --sia, kondisi kemacetan akan kembali terjadi selama hulu masalah kemacetan tidak disentuh.Ibarat mengobati kanker, pemerintah hanya focus pada penyakitnya tidak pada sumber penyakitnya.

Sekali lagi, dimata saya, biang kerok dari semua permasalahan kemacetan Jakarta adalah hadirnya bermacam-macam pusat kegiatan di Jakarta dan sekitarnya baik kegiatan  industri, perdagangan, properti dan pemerintahan.

Dalam kondisi ini, pemerintah harus mengambil langkah "desentralisasi kegiatan." Rencana pemindahan Ibu kota ke Pontianak yang pernah diwacanakan "tidak" perlu dilakukan. Yang sangat dimungkinkan adalah dengan memindahkan sebagian kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi  ke daerah lain. Aktivitas beberapa perkantoran kementerian ke Indonesia bagian Tengah dan Timur. Begitupula dengan kegiatan Industri, sebaiknya dialihkan ke luar Jabodetabek. 

Pak Jokowi dan Gubernur Anies sudah saatnya duduk bersama dengan beberapa Gubernur  di kawasan Timur Indonesia untuk membicarakan proses pemindahan aktivitas tersebut. Saya kira inilah solusi permanen mengatasi problem kemacetan Jakarta.

Ternate, 05.30 WIT, 4/11/2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun