Mohon tunggu...
Syarif Tjan
Syarif Tjan Mohon Tunggu... -

Lahir Di Tobelo.Tipikal slengean dan suka menentang arus. Senang menekuni dunia Filsafat dan Tasauf. Waktu senggang dimanfaatkan dengan melukis, menulis, dan clubing. Pernah mampir menimba Ilmu Teknik Lingkungan di STTL Yogyakarta ( 1991), dan menyempatkan diri belajar di Magister Sistem Teknik (MST) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Tahun 2007. Pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Impact semasa kuliah di Yogya.Menulis adalah hobi sejak dari SMA. Pernah menulis di Majalah "Suara Muhammadiyah" Yogyakarta, dan harian Malut Post. Tahun 2004 saya bersama Bapak Mulis Tapi Tapi mendirikan Tabloid Halut Press dan menjadi Pemimpin Redaksi namun hanya bertahan selama 2 tahun. Mendirikan oragnisasi Filantropis "Tjan Institute", sebagai upaya melakukan riset kecil-kecil dibidang lingkungan. Bergelut di dunia konsultan lingkungan untuk menyusun AMDAL, dan UKL/UPL. Selain konsen terhadap masalah lingkungan, sosial politik dan kebudayaan, juga memiliki cita-cita membesarkan usaha "eco- Entrepreneur" sendiri. saat ini suka menggarap banyak pesanan Instalasi Air Limbah dengan biaya murah. Sudah 17 Tahun hidup dan stay di Ternate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Ambiguitas Kaum Intelektual

15 Oktober 2017   22:49 Diperbarui: 16 Oktober 2017   04:37 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanpa sengaja kamis malam, 11 Oktober 2017, saya ketemu Saudara Abdullah  Totona (atau biasa disapa Aloed) di Kafe Jarod Ternate. Dalam pertemuan  tak terduga itu saya dikasih sebuah buku berjudul "Ambiguitas Kaum  Intelektual"  karangan Saudara Abdullah Totona sendiri. Senang memang  dikasih langsung oleh penulis buku itu.Biar lebih afdhol, saya minta  saudara Aloed tanda tangan sebagai kenangan-kenangan.  


Sekilas  membaca judulnya, saya terperanjat karena mengingatkan saya pada Julian  Benda (1867-1956) seorang sosiolog Perancis yang terkenal dengan   karyanya yang termashyur La Trahison des Clercs (Penghianatan Kaum  Cendekiawan)". Benda dengan lugas menuturkan bahwa kaum intelektual saat  itu sudah mulai berhianat. 

Para intelektual sudah  cenderung mengabdi  pada kepentingan parsial dan meninggalkan peran utamanya  dan rela  menjadi kaki tangan penguasa. Padahal menurut Benda, figure intelektual  itu harus hadir dan menjadi satu kekuatan yang merepresentasikan  kepentingan public (public interest) dengan menawarkan sebuah ideology  baru intelektual yang dikenal dengan ideologi humanisme universal. Figur  intelektual semata mata memproduksi pengetahuan dalam rangka mencapai  kebenaran dan kepentingan public.


Apa yang diidealkan Benda, tentang  eksistensi figure Intelektual, diperkuat kembali oleh saudara Aloed  dengan sebuah bukunya "Ambiguitas Kaum Intelektual". Aloed mencobah  membedah peran dan eksistensi intelektual ditengah tengah masyarakat  Maluku Utara yang pernah mengalami konflik kekerasan berbau SaRa yang  terjadi di Maluku Utara 17 tahun lalu.


Menggunakan pisau analisis  Piere Bourdieu, Saudara Aloed  Totona mengingatkan kembali  kepada kita  sebuah frame baru tentang  pemahaman ideology intelektual. Dimata Aloed  intelektual saat ini membutuhkan arena atau ruang  pertarungan untuk  mengembangkan modal budaya (pendidikan), modal social (kepercayaan,  jaringan, dan sebagainya), modal ekonomi (harta), modal simbolis (gelar,  prestise dan kehormatan) agar identitas intelektual dapat terbentuk  dimasyarakat.


Dengan mengambil seting kasus kerusuhan di Maluku  Utara, secara gamblang dan sangat terang benderang saudara Aloed  menelanjangi kaum intelektual Maluku Utara yang memiliki peran yang  sangat besar dan secara langsung ikut terlibat dalam konflik tersebut.  Peran dan keterlibatan para intelektual Maluku Utara pada saat itu  terdistribusi pada beberapa kepentingan yang dilakoninya. Para  intelektual yang dekat dengan kekuasaan memainkan perannya sehingga  konflik Maluku Utara pecah. Para intelektual di Maluku Utara pada saat  itu sengaja memainkan konflik antara elit, perebutan kekuasan kursiGubernur Maluku Utara, sumber daya alam dan etnik menjadi  sumber utama konflik  kekerasan berbau sara di Maluku Utara. Dari aspek hukum sebenarnya peran para intelektual tersebut bisa diungkap dan diselidiki, sipa bikin apa, siapa dapat apa, dan siapa profokatornya.


Para aktor  intelektual Maluku Utara begitu mudah terkotak kotak ke dalam beberapa kelompok  kepentingan, dan pada saat konfilk membentuk dua kelompok besar yaitu  Islam dan Kristen untuk sama --sama memperjuangkan hal --hal yang  sebenarnya mereka juga tidak faham. 

Hal--hal yang sebetulnya tidak  menimbulkan konflik horizontal  dari cultur dan relasi social yang sudah  terjadi di Maluku Utara dengan mudahnya dipresentasikan menjadi konflik  agama. Sendi-sendi kehidupan orang Maluku Utara yang begitu akur dan  toleran tercabik --cabik menjadi dendam kemanusiaan diantara sesama.  Padahal idealnya lahirnya intelektual disuatu daerah berarti lahir pula  kemakmuran, kecerdasan, keadilan dan kemajuan  didaerah itu juga. Bukan  sebaliknya.

 
Memang,  bicara peran intelektual dari dulu sampai  sekarang  tidak ada habis habisnya. Seiring perjalanan sejarah maka  secara otomatis dunia dan peradaban juga mengalami perubahan. Ideologi  intelektual pun ikut berubah dan tumbuh bak jamur dimusim hujan.  Berbagai ideology intelektual muncul semakin beragam, dan berlapis  lapis.


Saat ini sangat mudah kita temukan konsep  publik interes  dan humanisme universal yang muncul dengan beragam frame dan sarat  dengan klaim --klaim intelektual. Kerangka ideology intelektual itu ikut  bermetamorfosa menjadi begitu banyak pertentangan dengan  kepentingan  masyarakat  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga jangan  heran kalau kita menemukan kepentingan masyarakat  dalam kerangka   kapitalisme itu akan berbeda dengan kepentingan masyarakat  dalam  kerangka  komunisme. 

Begitu juga dengan  kepentingan masyarakat  dalam  kerangka fasisme  akan sangat jauh  berbeda dengan kepentingan  masyarakat dalam kerangka demokrasi.


Para intelektual saat ini tidak  tampil homogen seperti yang didambakan Julian Benda. Intelektual telah terbelah dan   terkotak --kotak dan tidak lagi mempresentasikan kepentingan mastyarakat.  Dari sisi ideologi para intelektual saat ini sudah terpolar dalam cara berfikir yang terkotak-kotak dan   interest pribadi sehingga cara dan peran perjuangannya  juga berbeda beda.


Peran intelektual terlanjur berkoalisi dengan  pemerintah dan begitu dominan dalam mempengaruhi segala kebijakan  penguasa. Baik buruknya kebijakan penguasa adalah manifestasi dari baik  buruknya para intelektual dibelakang penguasa. Intelektual sudah tidak  menjadi baro meter dalam setiap moment dan isu yang terjadi disamping  kehidupan kita. Buruk menurut intelektual, belum tentu dianggap  buruk   dimata  masyarakat.Karena intelektual sudah diidentikan dengan penguasa.


 Dalam konteks ini, intelektual  yang masuk kedalam ruang kekuasaan   diperhadapkan pada dua dilemma utama yaitu mampu mendikte penguasa atau  intelektual itu sendiri yang terdikte. Atau dengan kata lain mampukah  intelektual menjadikan penguasa sebagai budaknya atau justru sebaliknya ?  Saya kira itulah tantangan terbesar yang harus dijawab kaum intelektual   dalam menguatkan posisi tawarnya sebagai intelektual publik diskursus  sebagaiman yang ditawarkan saudara Aloed dalam buku "Ambiguitas Kaum  Intelektual."


Ternate, 23.00,  15 Oktober 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun