Mohon tunggu...
Syarif Tjan
Syarif Tjan Mohon Tunggu... -

Lahir Di Tobelo.Tipikal slengean dan suka menentang arus. Senang menekuni dunia Filsafat dan Tasauf. Waktu senggang dimanfaatkan dengan melukis, menulis, dan clubing. Pernah mampir menimba Ilmu Teknik Lingkungan di STTL Yogyakarta ( 1991), dan menyempatkan diri belajar di Magister Sistem Teknik (MST) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Tahun 2007. Pernah menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Impact semasa kuliah di Yogya.Menulis adalah hobi sejak dari SMA. Pernah menulis di Majalah "Suara Muhammadiyah" Yogyakarta, dan harian Malut Post. Tahun 2004 saya bersama Bapak Mulis Tapi Tapi mendirikan Tabloid Halut Press dan menjadi Pemimpin Redaksi namun hanya bertahan selama 2 tahun. Mendirikan oragnisasi Filantropis "Tjan Institute", sebagai upaya melakukan riset kecil-kecil dibidang lingkungan. Bergelut di dunia konsultan lingkungan untuk menyusun AMDAL, dan UKL/UPL. Selain konsen terhadap masalah lingkungan, sosial politik dan kebudayaan, juga memiliki cita-cita membesarkan usaha "eco- Entrepreneur" sendiri. saat ini suka menggarap banyak pesanan Instalasi Air Limbah dengan biaya murah. Sudah 17 Tahun hidup dan stay di Ternate

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gelar Doktor Itu Gelar "Menulis"

21 September 2017   04:39 Diperbarui: 22 September 2017   04:19 10638
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: www.cadi.cl

Bergelar doktor menjadi dambaan semua dosen. Betapa tidak, Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengisyaratkan Standar gelar seorang dosen untuk tetap bertahan mengajar di Indonesia cukup ketat. Standard yang diterapkan cukup  ketat bagi setiap dosennya. Untuk dosen yang bergelar s1 dilarang mengajar di program starata 1, minimal dosen tersebut  harus bergelar master (s2). Begitu seterusnya untuk program master (s2) maka dosen yang dipersyaratkan mengajar di program ini adalah yang bergelar Doktor (s3).

Data yang dirilis  oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa Indonesia  telah melahirkan Doktor sebanyak 31.000 orang dari total sekitar 270.000 dosen yang tersebar di 4.500 kampus negeri dan swasta. Jumlah pencapaian yang msih jauh dari standar minimal Doktor yang diharapkan yaitu sebanyak 60.000 orang. Dan sampai dengan saat ini ditingkat asean Indonesia masih kalah jauh dengan negara --negara tetangga seperti Malaysia, dan Thailand.

Gengsi meraih doktor tidak saja merambah orang kampus, banyak kalangan dari luar kampus yang juga berlomba --lomba mencapai gelar itu. Entah dari kalangan politisi, birokrat maupun kalangan swasta semuanya berlomba lomba memasuki perguruan tinggi untuk meraih gelar Doktor.

Ada apa dengan gelar doktor? Apakah gelar doktor begitu penting dan menjanjikan sehingga banyak kalangan berkompetisi meraihnya? Apa sih gengsinya dengan gelar Doktor?

Sudah pasti orang-orang luar kampus  yang mencoba meraih gelar Doktor memiliki motivasi yang berbeda --beda dan sangat non akademis. Buat apa bergelar doktor kalau tidak mengajar? Ataukah untuk apa bersusah susah meraih gelar doktor kalau tidak dipaksa. Orang ngotot untuk masuk program Doktor pasti senang dan asyik dengan masgul kemiskinan ilmu yang dimilkinya. Betul juga dengan istilah "long life education"  bahwa pendidikan itu tidak terbatas pada profesi akademik, atau pada usia seseorang. Siapa saja dipersilahkan menuntut ilmu sesuai kemampuannya dan dicari selama kita masih bernafas.

Kembali ke soal motivasi, sebagian besar orang berusaha meraih gelar Doktor (s3) karena mereka mengikuti mindset sebagian besar public yang senang memandang symbol symbol intelektual ketimbang subtansi intelektual. Orang lebih mau mendengar seorang Doktor berbicara ketimbang seorang tukang becak (maaf tidak berarti tukang becak bodoh).Publik kita terbiasa dengan penilaian hitam- putih, atas-bawah, pandai- bodoh, menambah gizi gengsi gelar Doktor.

Gengsi sesorang yang bergelar Doktor sangat tinggi dimata masyarakat, sehingga menjadi salah satu jalan pintas meningkatkan status sosialnya di hadapan masyarakat.

Tulisan ini tidak mencoba memasalahkan motivasi atau pencapaian seseorang yang bergelar doktor. Tapi paling tidak mencoba mengingatkan bahwa gelar Doktor tidak sebatas pada gelar yang ditorehkan pada kertas selembar? Atau gelar doktor hanya sekedar gagah-gagahan semata? Gelar Doktor itu gelar" menulis"!.

Doktor Harus Menulis

Dimata saya, seorang Doktor harus mampu mempertahankan keilmuannya. Kebiasaan melakukan riset semasa dibangku kuliah harus dilanjutkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak problem dimasyarakat yang membutuhkan kehadiran seorang yang bergelar Doktor untuk me-riset masalah itu dan mencari solusi masalahnya.

Disertasi yang ditulis bertahun --tahun lewat penelitian dan riset yang berkepanjangan harus dipublis dengan bahasa yang polpuler sehingga dibaca semua kalangan. Disertasi jangan  menjadi konsumsi orang akademik sendiri. Pasar publish disertasi harus dibuka luas ke publik agar menghasilkan resonansi yang banyak dari publik. Selama ini kita tidak pernah tahu berapa paper yang sudah dihasilkan seorang yang bergelar Doktor? Kalaupun dipublish itu hanya lewat media jurnal ilmiah, pun bisa kita hitung berapa sih orang yang membacanya!. Kalau dipublish lewat seminar juga terbatas, begitupun dengan media buku dengan rendahnya budaya literasi masyarakat kita akan tidak tersentuh.

Seorang yang telah bergelar doktor maka wajib hukumnya berperilaku dan bertindak sesuai dengan kaidah ilmiah yang berlaku umum. Kewajiban utama yang harus dia penuhi adalah menulis paper sebagai tanggung jawab keilmuan yang dia miliki.

Budaya menulis menjadi istri kedua seorang Doktor. Tuntutan kewajiban menulis dari institusi kampus kepada sesorang yang bergelar Doktor sudah tidak bisa ditawar-tawar. Tak tahu kalau kampus abal-abal, mungkin lain.Seorang Doktor yang pelit menulis dan boros berbicara tidak jauh beda dengan seorang duda lapuk yang tak laku-laku tetapi tampil trendi.

Yang menjadi masalah adalah, apakah harapan kampus sejalan dengan produktifitas kepenulisan seorang yang bergelar Doktor?

Kalau kita mau jujur, tengoklah sebentar beberapa media main stream seperti kompas, media Indonesia , dll , berapa sih  tulisan si mahluk yang bergelar Doktor itu dimuat? boleh dibilang jauh panggang dari api. Kebanyakan yang kita dapati justru Tulisan --tulisan yang muncul sebagaian besar penulisnya adalah orang yang sangat sedikit mengeyam bangku universitas. Kalau bukan wartawan senior, ya satrawan, kalau bukan aktivis LSM,ya penggiat social, dan seterusnya...dan seterusnya...

Padahal kita mengantung harapan yang tinggi atas ide brilian yang akan ditelorkan sosok seorang Doktor  yang mumpuni dalam keilmuan dan budaya ilmiahnya.Tulisan seorang doktor berbeda dengan seorang yang bukan Doktor. Metode dan analisis, serta ketajaman dalam memecahkan sebuah masalah memilki  sandaran dan analisis yang tajam sebagaimana gelarnya.

Kelangkaan tulisan popular para doktor, jangan-jangan penyebabnya mereka sedang  keasyikan narsis dan menikmati gelarnya. Kalau ini yang terjadi, maka jangan tanyakan berapa" paper" yang sudah dia tulis. Boro-boro... paper, tulisan sekelas opini pasti mentalnya dipikiran tokh... dan hilang  dibawa angin. Lantas apa yang kita banggakan dari gelar Doktor?

Akhirnya kekhawatiran  "kita semua bisa menjadi doktor, tetapi semua doktor  belum tentu menjadi penulis" tidak akan terjadi. 

Ternate, 21 September 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun