Bergelar doktor menjadi dambaan semua dosen. Betapa tidak, Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan mengisyaratkan Standar gelar seorang dosen untuk tetap bertahan mengajar di Indonesia cukup ketat. Standard yang diterapkan cukup  ketat bagi setiap dosennya. Untuk dosen yang bergelar s1 dilarang mengajar di program starata 1, minimal dosen tersebut  harus bergelar master (s2). Begitu seterusnya untuk program master (s2) maka dosen yang dipersyaratkan mengajar di program ini adalah yang bergelar Doktor (s3).
Data yang dirilis  oleh Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi menyebutkan bahwa Indonesia  telah melahirkan Doktor sebanyak 31.000 orang dari total sekitar 270.000 dosen yang tersebar di 4.500 kampus negeri dan swasta. Jumlah pencapaian yang msih jauh dari standar minimal Doktor yang diharapkan yaitu sebanyak 60.000 orang. Dan sampai dengan saat ini ditingkat asean Indonesia masih kalah jauh dengan negara --negara tetangga seperti Malaysia, dan Thailand.
Gengsi meraih doktor tidak saja merambah orang kampus, banyak kalangan dari luar kampus yang juga berlomba --lomba mencapai gelar itu. Entah dari kalangan politisi, birokrat maupun kalangan swasta semuanya berlomba lomba memasuki perguruan tinggi untuk meraih gelar Doktor.
Ada apa dengan gelar doktor? Apakah gelar doktor begitu penting dan menjanjikan sehingga banyak kalangan berkompetisi meraihnya? Apa sih gengsinya dengan gelar Doktor?
Sudah pasti orang-orang luar kampus  yang mencoba meraih gelar Doktor memiliki motivasi yang berbeda --beda dan sangat non akademis. Buat apa bergelar doktor kalau tidak mengajar? Ataukah untuk apa bersusah susah meraih gelar doktor kalau tidak dipaksa. Orang ngotot untuk masuk program Doktor pasti senang dan asyik dengan masgul kemiskinan ilmu yang dimilkinya. Betul juga dengan istilah "long life education"  bahwa pendidikan itu tidak terbatas pada profesi akademik, atau pada usia seseorang. Siapa saja dipersilahkan menuntut ilmu sesuai kemampuannya dan dicari selama kita masih bernafas.
Kembali ke soal motivasi, sebagian besar orang berusaha meraih gelar Doktor (s3) karena mereka mengikuti mindset sebagian besar public yang senang memandang symbol symbol intelektual ketimbang subtansi intelektual. Orang lebih mau mendengar seorang Doktor berbicara ketimbang seorang tukang becak (maaf tidak berarti tukang becak bodoh).Publik kita terbiasa dengan penilaian hitam- putih, atas-bawah, pandai- bodoh, menambah gizi gengsi gelar Doktor.
Gengsi sesorang yang bergelar Doktor sangat tinggi dimata masyarakat, sehingga menjadi salah satu jalan pintas meningkatkan status sosialnya di hadapan masyarakat.
Tulisan ini tidak mencoba memasalahkan motivasi atau pencapaian seseorang yang bergelar doktor. Tapi paling tidak mencoba mengingatkan bahwa gelar Doktor tidak sebatas pada gelar yang ditorehkan pada kertas selembar? Atau gelar doktor hanya sekedar gagah-gagahan semata? Gelar Doktor itu gelar" menulis"!.
Doktor Harus Menulis
Dimata saya, seorang Doktor harus mampu mempertahankan keilmuannya. Kebiasaan melakukan riset semasa dibangku kuliah harus dilanjutkan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak problem dimasyarakat yang membutuhkan kehadiran seorang yang bergelar Doktor untuk me-riset masalah itu dan mencari solusi masalahnya.
Disertasi yang ditulis bertahun --tahun lewat penelitian dan riset yang berkepanjangan harus dipublis dengan bahasa yang polpuler sehingga dibaca semua kalangan. Disertasi jangan  menjadi konsumsi orang akademik sendiri. Pasar publish disertasi harus dibuka luas ke publik agar menghasilkan resonansi yang banyak dari publik. Selama ini kita tidak pernah tahu berapa paper yang sudah dihasilkan seorang yang bergelar Doktor? Kalaupun dipublish itu hanya lewat media jurnal ilmiah, pun bisa kita hitung berapa sih orang yang membacanya!. Kalau dipublish lewat seminar juga terbatas, begitupun dengan media buku dengan rendahnya budaya literasi masyarakat kita akan tidak tersentuh.