Upaya Memahami Peranan Dongeng Mitos [1]
** [Tulisan ini hasil saya menyadur/menyalin buku Karen Amrstrong (2009), "Masa Depan Tuhan", Penerbit Mizan] **
Â
Sistematika tulisan ini dikonstruksi melalui penuturan dua buah warna budaya: 1. Budaya pramodern dan 2. Budaya modern.
Budaya Pramodern
Di era pramodern ada dua buah cara yang lazim di dalam pola berpikir, berbicara, dan memperoleh pengetahuan. Keduanya adalah nalar (logos) dan donggeng mitos. Keduanya penting dan setara kedudukannya; tidak ada yang satu lebih unggul dari yang lainnya. Keduanya saling melengkapi dan tidak bertentangan. Masing-masing memiliki bidang kompetensi dan dianggap tidak bijaksana mencampurbaurkan keduanya.
Nalar adalah cara berpikir pragmatis yang memungkinkan ikhtiar manusia bisa berfungsi secara efektif di dunia ini. Nalar harus bersesuaian secara akurat dengan kenyataan yang ada di dunia ini. Sebagai ilustrasi, manusia mebutuhkan nalar untuk membuat senjata yang efisien, mengatur masyarakat, merencanakan ekspedisi dsb.
Nalar berpandangan ke depan, nalar terus menerus mencari cara baru untuk mengendalikan lingkungan, nalar meningkatkan wawasan lama atau menciptakan sesuatu yang baru. Nalar penting bagi kelangsungan hidup spesies kita.
Tetapi nalar mempunyai keterbatasan: ia tidak sanggup melipur kesedihan yang mendalam yang dihadapi umat manusia. Nalar juga tidak akan secara linier menggiring seseorang mencapai pemahaman terhadap makna tertinggi dari perjuangan hidup ini. Karena itu untuk mempertahankan eksistensi kehidupannya, manusia masih memerlukan sesuatu di luar nalar; inilah momen manusia memperlengkapi dirinya dengan dongeng-dongeng mitos.
Dongeng mitos bukanlah fantasi sekehendak hati. Sepadan dengan peranan nalar, peranan dongeng mitos adalah membantu manusia untuk hidup secara kreatif di tengah dunia yang serba membingungkan, meskipun dengan cara yang berbeda dengan cara kerja nalar.
Dongeng mitos mungkin saja bercerita tentang dewa-dewa. Akan tetapi sesungguhnya dongeng mitos berfokus pada aspek kehidupan yang lebih sukar dimengerti, membingungkan, dan tragis di dalam diri manusia. Kondisi yang seperti ini memang berada di luar wilayah kewenangan nalar.
Ketika dongeng mitos menggambarkan para pahlawan yang menempuh jalan berliku, menerobos lorong gelap atau memerangi para monster, itu tidak usah dipahami sebagai cerita nyata. Kisah seperti ini dirancang untuk membantu manusia berdamai dengan area yang kabur di kedalaman jiwa yang sulit untuk dijangkau, tetapi ia sangat mempengaruhi pikiran dan perilaku kita secara intens. Orang harus memasuki wilayah pikiran mereka sendiri dan memerangi iblis pribadi mereka.
Karena itu tidaklah terlalu mengherankan psikolog besar Sigmund Freud dan Carl Jung ketika mulai mencoba memetakan pencarian ilmiah tentang jiwa, mereka secara naluriah mengawalinya dengan berpaling ke mitos-mitos kuno ini.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H