Pemilu serentak 2024 meninggalkan jejak yang memprihatinkan dalam sejarah demokrasi Indonesia. Angka partisipasi pemilih yang menurun drastis di berbagai daerah, Jakarta anjlok dari 70% menjadi 58%, dan Sumatera Utara hanya mencapai 55.6%, bukan sekadar angka statistik. Ini adalah cerminan dari krisis representasi demokrasi yang sedang kita alami, dan bukti nyata bahwa prinsip Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yang diamanatkan oleh Pancasila, sedang tergerus. Apakah kita sedang terjebak dalam era "post-demokrasi," di mana demokrasi formal masih berjalan, tetapi substansinya telah hilang, digantikan oleh dominasi elit politik-ekonomi yang lebih mengutamakan tampilan daripada isi? Mari kita bedah lebih dalam.
Munculnya Politik "Vibes": Lebih Penting dari Substansi?
Dalam politik Indonesia, kita semakin sering melihat fenomena "lebih vibes, kurang substansi." "Vibes," di sini, merujuk pada kesan keseluruhan yang diciptakan oleh kandidat, terutama melalui karisma dan gaya komunikasi. Bayangkan seorang kandidat yang lebih fokus pada unggahan media sosial supaya viral, slogan-slogan yang mudah diingat, dan penampilan yang menarik, daripada program kerja dan solusi nyata untuk masalah rakyat. Mereka mengandalkan daya tarik emosional dan konten yang cepat tersebar, seringkali menghindari dialog yang mendalam tentang isu-isu penting yang dihadapi masyarakat. Ini adalah contoh dari apa yang kita sebut sebagai "rekayasa komunikasi politik," di mana politik dikemas sebagai produk yang dijual, dikonsumsi, dan terus-menerus di- branding. Dampaknya terhadap prinsip Keadilan Sosial sangat jelas: ketika fokus utama politik adalah pencitraan dan bukan substansi, maka kebijakan publik cenderung tidak didasarkan pada kebutuhan riil masyarakat, melainkan pada apa yang paling populer atau menguntungkan secara politik. Kelompok masyarakat yang tidak memiliki akses ke platform media sosial atau tidak terwakili dalam image yang dibangun, akhirnya terpinggirkan dan aspirasi mereka terabaikan.
Transformasi Media dan Budaya "Soundbite": Pendorong Utama
Tren ini tidak muncul begitu saja. Ada beberapa faktor rumit yang mendorongnya. Salah satunya adalah transformasi media yang sangat pesat. Dengan siklus berita 24/7 dan budaya petikan suara, kutipan mencengangkan atau pernyataan singkat yang diedit secara menarik, kita lebih sering melihat konten yang mudah dikonsumsi dan disebarluaskan secara cepat, daripada analisis mendalam dan diskusi kebijakan yang bernuansa. Kita juga melihat pergeseran budaya yang lebih mengutamakan personal branding, spontanitas atau ceplas ceplos daripada keahlian dan pengalaman. Di era media sosial, terutama pada akun media sosial milik politisi atau pejabat publik, jumlah pengikut, popularitas dan atensi disokong mesin algoritma, sementara rekam jejak, prestasi dan kompetensi bukan utama. Meskipun popularitas dan rekam jejak di dunia nyata sebelumnya bisa jadi merupakan katalis popularitas di media sosial, namun ketika politisi lebih fokus untuk melayani algoritma, daripada melayani masyarakat, maka hal ini bisa menjadi dampak paling merusak. Mereka cenderung lebih mementingkan konten yang viral, memoles citra dipermukaan dan menaikkan populeritas, daripada substansi dan representasi yang sesungguhnya terhadap isu krusial yang dihadapi masyarakat. Ini menggerus hak-hak kita untuk mendapatkan representasi yang setara dan bermartabat, sesuai dengan prinsip kelima Pancasila: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Politik sebagai Pertunjukan: Hilangnya Peran Intelektual Organik
Jika kita meminjam konsep "intelektual organik" dari Gramsci, kita bisa melihat bahwa figur publik bukan lagi sebagai jembatan antara kelas sosial yang berbeda, melainkan sebagai "insinyur narasi" yang secara strategis memanfaatkan modal aktualisasi sosial sebagai mata uang baru untuk mencapai kekuasaan politik. Sekarang, legitimasi politik bukan lagi tentang menyuarakan aspirasi kolektif, melainkan tentang mempertunjukkannya. Panggung politik telah berubah menjadi sebuah show yang berkelanjutan, di mana keterlibatan emosional dan sensasi lebih dihargai daripada dialog substansial yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah riil masyarakat. Teori "Society of the Spectacle" dari Debord menjelaskan dengan gamblang bagaimana penampilan menjadi lebih penting dari substansi dalam realitas politik yang didominasi oleh media dan algoritma. Di Indonesia, strategi ini semakin menguat, melanggengkan ketidaksetaraan akses politik dan mendistorsi prinsip Keadilan Sosial.
Partai Politik dan Rekayasa Komunikasi Politik
Tanpa kita sadari, partai politik di Indonesia, tampaknya telah mengadopsi "rekayasa komunikasi politik" sebagai strategi utama. Mereka lebih memilih ekosistem media sosial dan dunia hiburan sebagai tempat rekrutmen, lebih mengutamakan nama, status sebagai selebriti, jumlah pengikut dan popularitas daripada keahlian dan integritas. Coba perhatikan, berapa banyak kandidat yang terplilih karena popularitasnya di media sosial daripada rekam jejaknya dalam kebijakan publik? Berapa banyak keputusan politik yang didasarkan pada resonansi emosional yang reaktif, bukan pemikiran yang strategis? Strategi rekayasa komunikasi politik adalah ketika politisi mencoba untuk membangun citra yang positif dan mendapatkan perhatian publik melalui pencitraan sosial media yang bisa dimanipulasi. Sementara, "mekanisme rekonfigurasi kekuasaan" terjadi ketika fokus utama bergeser dari mencari dukungan dari metrik sosial hasil dari manipulasi komunikasi dan bukan dukungan nyata dari masyarakat di luar media sosial. Partai politik merekrut dan mempromosikan kandidat menggunakan konten media sosial yang diedit untuk menyasar emosi bukan logika, dan tidak mengedepankan pengalaman, kompetensi atau hasil kerja nyata. Ini mengubah cara kekuasaan didapatkan dan dijalankan, menciptakan struktur kekuasaan baru yang tidak adil. Ini bukan hanya sekadar strategi komunikasi, melainkan mekanisme rekonfigurasi kekuasaan yang sistematis, yang menciptakan kesenjangan akses politik yang semakin lebar, secara timpang diberikan kepada pribadi dengan jaringan sosial luas yang pada akhirnya mencederai cita-cita Keadilan Sosial.
Penghalang Sistematis untuk Partisipasi Politik