M. Sirajuth ThayyibÂ
Mahasiswa Teknik Informatika BÂ
Fakultas Teknologi Industri (FTI) UNISSULAÂ
Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H.,Â
Dosen Fakultas Hukum UNISSULAÂ
Indonesia merupakan Negara Demokrasi yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 yang berbentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang semulanya adalah Republik Indonesia Serikat (RIS) Yang terdiri dari Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Selatan.Â
Dengan daerah kekuasaanya yang luas serta terdiri dari 1340 suku bangsa maka Indonesia membutuhkan sebuah Konstitusi untuk menata serta mengatur tatanan Pemerintahan Indonesia agar semua Warga Negara Indonesia dapat aman, tentram, dan damai. Pancasila sebagai Ideologi Negara Indonesia adalah sumber dari semua sumber hukum yang menjadi pandangan hidup bangsa indonesia untuk membentuk sikap, watak, perilaku, tata nilai norma, dan etika dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila juga sebagai filsafat yang mengandung pandangan, nilai, dan pemikiran yang dapat menjadi substansi dan isi pembentukan ideologi Pancasila.
Namun seiring berjalanya waktu, hukum yang ada di negara ini bukan malah memberikan kesejahteraan kepada warganya, justru membuat warganya sengsara dengan kebijakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.
Apalagi setelah disahkanya RKUHP 2022 membuat kebebasan berpendapat rakyat semakin tenggelam, karena terdapat Pasal 240 KUHP terbaru yang menyatakan bahwa, "setiap orang yang menghina pemerintah atau lembaga negara di muka umum bisa dipidana maksimal penjara 1 tahun dan 6 bulan." yang dimaksud dengan pemerintah adalah presiden yang dibantu wakil presiden dan para menterinya. Sedangkan lembaga negara adalah MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), serta Mahkamah Konstitusi (MK).
Tindakan menghina diartikan sebagai "perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan, atau citra pemerintah atau lembaga negara termasuk menista atau memfitnah".
Sementara itu, kritik didefinisikan "sebisa mungkin bersifat konstruktif atau membangun walaupun mengandung ketidaksetujuan pada perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah, atau lembaga negara".
definisi ini tak membuat beleid ini kehilangan unsur multitafsirnya. Sebab, pembuktiannya di pengadilan dianggap masih akan sengit.
Namun, tindak pidana ini termasuk delik aduan. Artinya hanya pemerintah dan lembaga negara yang dihina yang bisa menuntut tindak pidana tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 240 Ayat (3) dan Ayat (4) KUHP terbaru.
Dengan adanya pasal-pasal diatas apabila mungkin terjadi masalah dalam suatu pemerintahan maka rakyat takut untuk menyuarakanya, takut jika dikira hal tersebut adalah suatu penghinaan.
Pada Pasal 603 KUHP terbaru juga menyatakan bahwa pelaku tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana "pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 20 tahun". Dengan adanya pasal ini malah memberikan ruang/kesempatan bagi para koruptor untuk menjalankan aksi mereka, karena mereka yakin apabila tertangkap mereka dapat melakukan banding hingga mendapatkan masa tahanan paling singkat yang seharusnya mereka mendapatkan hukuman seberat-beratnya.
Dampak korupsi sangatlah merugikan bagi negara dan seluruh masyarakat, karena uang yang seharusnya digunakan untuk membangun insrastruktur, pelayanan publik, ekonomi agar masyarakat dapat merasakan dampak pembangunan tersebut malah digunakan untuk kepentingan pribadi para koruptor semata.
Dari apa yang tertulis diatas dapat disimpulkan bahwa Negara Indonesia seperti Negara yang dimiliki oleh senioritas, bukan lagi Negara Hukum. yang seharusnya Indonesia ini sejalan dengan nilai - nilai Pancasila seolah olah pemerintahanya berjalan sesuai dengan kehendak para petinggi - petinggi negara yang mencari suara rakyat disaat pemilihan dan pura-pura tuli saat rakyat bersuara. Sekarang ini Sila ke-4 dan ke-5 hanyalah sebuah angan-angan belaka.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H