Anak yang menjalani blended family sering merasa seolah-olah ibu atau ayah yang baru akan menggantikan orangtua kandung sehingga tentu saja mereka menolak perubahan ini. Secara khusus anak-anak usia sekolah dan remaja biasanya sangat tak acuh kepada ”pengganti” orangtua kandung mereka. Bahkan, jika orangtua kandung mereka kooperatif, anak-anak masih takut mereka akan mengkhianati kesetiaan terhadap orangtua kandung yang telah pergi jika mereka menerima orangtua baru. Hal ini juga didukung oleh faktor emosional yang tertuang dalam diri anak atas dasar hubungan darah. Selain itu, perbedaan nilai yang dianut dua keluarga yang menyatu juga menjadi fokus utama persoalan yang ada pada blended family.
Trauma mendalam kehilangan orangtua kandung dengan datangnya pasangan yang baru.
Anak dalam suatu keluarga telah menderita kerugian besar melalui perpisahan perkawinan ataupun meninggalnya salah satu orangtua. Karena itu, mereka akan sangat peka dan reaktif pada kerugian lebih lanjut, baik kerugian yang nyata maupun yang mereka rasakan. Pernikahan kembali membawa orang dewasa lain terlibat ke dalam jalinan ”keluarga” yang telah kuat dan akan terjadi perubahan besar atas kebersamaan yang telah dikembangkan selama satu orangtua kandung dan anak bersatu.
Pada awalnya anak-anak sering merasa tergeser akibat campur tangan orangtua baru dan mencoba untuk menjaga orangtua kandung sebagai milik mereka sendiri. Anak-anak tidak merasa siap jika harus berbagi perhatian dan kasih sayang dari orangtua kandung. Banyak anak yang cemburu, kompetitif, dan menolak pasangan baru orangtua kandungnya. Meskipun anak laki-laki lebih sering memiliki kesulitan menyesuaikan diri dengan perceraian dan hidup serumah dengan ibu tunggal, melalui pernikahan kembali ibu gambarannya menjadi berubah. Anak perempuan biasanya memiliki lebih banyak kesulitan menyesuaikan diri dengan orangtua tiri daripada anak laki-laki. Anak laki-laki bisa mendapatkan sesuatu dari ayah tirinya yang hangat dan mendukung. Jika ayah tiri mereka responsif secara emosional, kebanyakan anak laki-laki secara bertahap dapat menerima minat mereka dan berkembanglah hubungan yang saling memuaskan. Umumnya, setiap anak dalam keluarga membutuhkan perhatian, kasih sayang, serta kontrol pertumbuhan dari kedua orang tuanya.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam keluarga adalah komunikasi, pengasuhan dan pengontrolan pada anak. Adanya latar belakang yang berbeda serta pengalaman berumah tangga pada masing- masing pasangan memungkinkan individu memiliki cara pandang yang berbeda terhadap pola asuh anak sehingga diperlukan adanya pembagian peran yang pasti serta komunikasi yang baik untuk meminimalisir adanya konflik. Adapun pola komunikasi terdiri atas 3 macam yaitu:
a. Pola Komunikasi satu arah
adalah proses penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan baik menggunakan media maupun tanpa media, tanpa ada umpan balik dari komunikan dalam hal ini komunikan bertindak sebagai pendengar saja.
b. Pola Komunikasi dua arah atau timbal balik (Two way traffic communication)
yaitu komunikator dan komunikan menjadi saling tukar fungsi dalam menjalani fungsi mereka, komunikator pada tahap pertama menjadi komunikan dan pada tahap berikutnya saling bergantian fungsi.
c. Pola Komunikasi multi arah
yaitu Proses komunikasi terjadi dalam satu kelompok yang lebih banyak di mana Komunikator dan Komunikan akan saling bertukar pikiran secara dialogis.