Tanpa adanya negara sulit diharapkan adanya ketaatan pada hukum-hukum itu. Dengan demikian pendekatan Natsir terhadap pelaksanaan syariat atau hukum-hukum Islam dalam masyarakat menekankan pada pendekatan legal formal (Gufron, 2016).
Natsir menginginkan Islam sebagai dasar Negara, golongan sekuler memberikan petanyaan bagaimana mungkin Islam dapat mengatur negara modern seperti saat ini. Al-Quran memberikan petunjuk-petunjuk untuk merancangkan Anggaran Belanja Negara. Menurut Natsir itu semua memang tidaklah ada dan memang tidak perlu diatur dengan wahyu Ilahi yang bersifat kekal, sebab hal-hal yang berkenaan dengan keduniaan selalu bertukar dan berubah menurut tempat, zaman dan keadaannya. Islam hanya mengatur dasar dan pokok-pokok mengatur masyarakat manusia, yang tidak berubah-ubah kepentingan dan keperluaannya selama manusia itu masih bersifat manusia.
Islam ditetapkan untuk keselamatan masyarakat manusia, contohnya Islam memiliki kriteria atau ukuran ketika ingin melantik seorang pemimpin atau menjadi seorang kepala Negara maupun kepala daerah adalah agamanya, sifat dan tabiatnya, akhlak dan kecakapannya untuk memegang suatu amanah.
Natsir juga memberi asumsi tentang kemestian pendirian sebuah negara dengan yang memimpin dan mengendalikan rakyat adalah kewajiban asasi dalam agama. Bahkan pelaksanaan agama tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya kepemimpinan. Terkandungnya hukum-hukum kenegaraan dalam ajaran Islam, menurut Natsir, adalah suatu bukti bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Agama harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu Negara karena agama bukanlah semata-mata suatu sistem peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Asumsi lain melengkapi itu, bahwa Natsir menyatakan menyusun suatu undang-undang dasar bagi negara kita ini dan untuk mencapai hasil yang memuaskaan, perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni bahwa undang-undang dasar bagi negara harus menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negara kita. Undang-undang dasar itu harus berurat berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam alam pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negara (Tedy, A, 2016).
Natsir Sebagai Muslim Negarawan
Natsir merupakan tokoh yang mempunyai reputasi Nasional maupun Internasiona, memiliki wawasan yang luas tentang ajaran Islam. Natsir merupaka ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi (Partai Majelis Syura Muslimin Indonesia), partai Islam terbesar di masa konsituante, dan turut memperjuangkan Islam sebagai dasar negara bersama kelompok nasional Islam lainnya.
Natsir cukup aktif dalam aktivitas politik sejak masa muda sampai usia senja. Natsir menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) tahun 1945-1946. Kemudian menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia dari tahun 1946-1949. Ia menjadi Menteri Penerangan selama 4 periode: dalam Kabinet Sjahrir I (3 Januari 1946 -- 12 Maret 1946), kemudian dalam kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 -- 2 Oktober 1946), berikutnya dalam kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 -- 3 Juli 1947), selanjutnya dalam kabinet Hatta I (29 Januari 1948 -- 4 Agustus 1949). Mulai tahun 1949 sampai 1958 Natsir menjadi Ketua Umum partai Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) (Tedy, A, 2016).
Hasan al-Banna mengaitkan antara akidah dan aktivitas politik. Ia berkata, "Sesungguhnya seorang muslim belum sempurna keislamannya kecuali jika dia menjadi seorang politisi, mempunyai pandangan jauh ke depan dan memberikan perhatian penuh kepada persoalan bangsanya." Selanjutnya Hasan al-Banna mengatakan, "Sesungguhnya kami adalah politisi dalam arti bahwa kami memberikan perhatian kepada persoalan-persoalan bangsa kami, dan kami bekerja dalam rangka mewujudkan kebebasan seutuhnya".
Muslim Negarawan sebagai sosok yang memiliki keberpihakan pada kebenaran dan terlatih dalam proses perjuangannya. Tiga hal itu adalah (1) mereka yang terlahir dari gerakan Islam yang tertata rapi (quwwah al-munashomat), (2) semangat keimanan yang kuat (ghirah qawiyah) dan (3) kompetensi yang tajam (Sudarsono, A. 2010). Dan konteksi ini ada dalam adalah Natsir.