Pada akhirnya seperti pada umumnya, bahwa terbagi atas pesona sebuah ideologi dan pesona pelaku penerapan sebuah ideologi. Pesona ideologi akan didukung dengan realisasi pesona pelaku penerapan sebuah ideologi. Ketidakcapaian pesona penerapan ideologi tidak mengurangi pesona sebuah ideologi. Tapi hal demikian terpatri sebagai narasi. Dan akan terjadi dialetika antara negasi dan afirmasi. Pada asasnya ini adalah narasi. Sebagaimana gagasan Murtadha Muthahhari, "Gerakan sosial haruslah bertumpu pada gerakan pemikiran dan kultural atau ia akan terjerumus dalam perangkap gerakan yang memiliki landasan budaya dan luluh di dalamnya sehingga berubah arah tanpa bisa dicegah".
Harapan pada narasi ini bertumpu pada ide Hamka, "Cobalah gambarkan rupa masyarakat jika ajaran seperti ini berlaku dalam masyarakat. Ekonomi berpadu dengan budi. Dilarang yang kaya berbuat suka hati dengan hartanya untuk pelesir, minum dan bertaruh lomba kuda dan lain-lain. Diperintahkan yang mampu mengeluarkan bagian hartanya untuk membantu yang miskin dan papa, yang dibantingkan oleh ombak masyarakat. Kalau ini terjadi, pastilah hilang pertentangan kelas seperti yang ada sekarang, pelepasan dendam yang tidak berkeputusan. Tidak ada lagi kaya terlalu kaya dan miskin terlalu miskin, tetapi di antara yang kaya dan yang miskin ada tali halus yang menghubungkan, tali bakti kepada Allah dalam masyarakat". Mungkin ini hanya sekedar imajinasi?
Atau mungkin kita membayangkan seperti tulisan Tjokroaminoto dengan menyebutkan, "Islamisme adalah dasar dan sumber sosialisme yang sejati, untuk menimbulkan keselamatan dunia dan keselamatan akhirat bagi segenap kemanusiaan". Kemudian Tjokroaminoto menuliskan, "Dengan sebenar-benarnya persaudaraan di dalam Islam adalah sesempurna-sesempurna persaudaraan, baik di dunia maupun persaudaraan di akhirat".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H