Seperti kata Sayyid Qutbh, "Peperangan militer dalam pergerakan Islam bukanlah peperangan senjata, kuda, prajurit, perbekalan, persiapan, dan strategi militer belaka. Peperangan parsial ini tidak terpisah dari peperangan besar di alam jiwa dan alam tatanan sosial umat Islam. Ia punya hubungan erat dengan kejernihan jiwa tersebut, ketulusannya, keikhlasannya, serta kebebasannya dari belenggu-belenggu dan ikatan-ikatan yang mengenyahkan kejernihannya dan merintangi perjalanannya".
Bahwa sedangkan orang-orang yang menang di peperangan-peperangan akidah di belakang nabi-nabi mereka, tulis Sayyid Qutbh, adalah mereka yang memulai peperangan dengan permohonan ampun atas dosa, bertawakal kepada Allah dan berlindung ke perlindungan-Nya yang kokoh. Maka, membersihkan diri dari dosa, bertawakal kepada Allah, dan kembali ke perlindungan-Nya adalah termasuk modal kemenangan bukan sesuatu yang terpisah dari medan.
Begitulah mereka membutuhkan fokus, bekerja pada potensi-potensinya. Mereka mendekam, kata guru mereka, hari-hari ini gempuran akan semakin terasa, kita hanya perlu; focus. Dengan sendirinya, gempuran itu akan sirna. Sejenak berhenti dari hiruk pikuk itu, mengabaikan bahwa siapa yang benar dan siapa yang salah, apalagi membayang siapa yang berdosa dan siapa yang berpahala, siapa yang suci dan siapa yang kelam, abaikan itu.
Mereka hanya perlu; fokus, beristighfar, ikhtiar dan kemudian menanti kemenangan. Tak semudah itu memang, tapi ini adalah pesta, kata seorang guru, pesta demokrasi, kalau ini sebuah pesta, lazimnya sebuah pesta, kita hanya perlu terus tersenyum dan tetaplah bergembira.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H