Mohon tunggu...
M. Sadli Umasangaji
M. Sadli Umasangaji Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger - celotehide.com

Menulis beberapa karya diantaranya “Dalam Sebuah Pencarian” (Novel Memoar) (Merah Saga, 2016), Ideasi Gerakan KAMMI (Gaza Library, 2021), Serpihan Identitas (Gaza Library, 2022). Ia juga mengampu website celotehide.com.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Stunting sebagai Isu Strategis

9 Mei 2023   09:05 Diperbarui: 27 Mei 2023   09:51 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Maka pendefenisian yang umum dipakai oleh ahli gizi, cenderung dispesifikkan kepada indikator status gizi tinggi badan atau panjang badan menurut umur. Balita pendek diidentifikasi berdasarkan tinggi badan atau panjang badan anak dibandingkan dengan standar tinggi badan atau panjang badan anak pada populasi yang normal sesuai dengan umur dan jenis kelamin. Penentuan balita pendek bila tinggi badan atau panjang badan dengan nilai z-score berada dibawah -2 SD dari standar WHO (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2015). 

Dalam konteks Indonesia, balita pendek ditentukan Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020. Klasifikasi status gizi berdasarkan indikator TB/U: Sangat pendek dengan nilai z-skor <-3,0, dan Pendek dengan nilai z-skor ≥- 3,0 s/d < -2,0 (Kemenkes, 2020). 

Z-score adalah nilai simpangan BB atau TB dari nilai BB atau TB normal menurut baku pertumbuhan WHO atau berdasarkan peraturan Kemenkes tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. (Kemenkes, 2018). Dalam Buku Saku Hasil PSG Tahun 2017 menempatkan stunting merupakan gabungan sangat pendek dan pendek

Selain itu, ketidaksetujuan penulis terhadap konotasi dampak stunting. Misalkan dampak stunting umumnya dikaitkan dengan kecerdasan yang rendah. Dan memang beberapa penelitian menunjukkan hal demikian. Hal ini juga bisa saja terjadi pada indikator status gizi yang lain, misalkan gizi kurus ataupun sangat kurang dan kurang. Sebagaimana skema umum dalam kerangka penyebab masalah gizi, terutama terkait penyebab langsung. Dimana penjelasan penyebab langsung ini adalah masalah asupan gizi dan penyakit infeksi atau penyakit penyerta.

Antara stunting dengan dampak kecerdasan dalam konotasi ini ditempatkan dalam perbincangan maka kecenderungannya menjadi konotasi negatif, bahwa orang pendek memiliki kecerdasan yang rendah. Akan tetapi misalkan realitas ada orang pendek tapi produktif. Atau misalkan bagaimana realitas yang menggambarkan seberapa banyak anak pendek atau remaja pendek di usia dewasa menjadi tidak produktif. Maka mungkin kita perlu mengubah untuk menggunakan konotasi positif misalkan bahwa kejadian stunting perlu ditangani karena suatu waktu kita berharap memiliki masyarakat Indonesia yang memiliki postur tubuh ideal dan juga produktif. 

Dengan demikian kita menempatkan bahwa kejadian stunting memiliki dampak pada kecerdasan akan tetapi proses hidup memiliki ketentuan lain dalam kecerdasan dan produktivitas seseorang misalkan daya belajar, kemauan belajar serta capaian pendidikan akan menentukan kapasitas intelektual seseorang. Untuk itu konotasi positif dari penurunan angka prevalensi stunting adalah mewujudkan masyarakat Indonesia pada masa-masa mendatang dengan postur ideal dan juga produktif.

Dalam Realitas Kecil

Data stunting sebagaimana yang penulis ungkapkan di atas pada beberapa tahun sebelumnya umumnya didapatkan dari hasil survei seperti Pemantauan Status Gizi (PSG), SSGBI, ataupun Riskesdas. Akan tetapi untuk tahun 2018, stunting mulai masuk dalam pengambilan data dalam surveilans gizi di puskesmas.

Target capaian stunting dalam surveilans gizi dengan target 2015-2019, baru terdapat pada target di tahun 2019 yakni 28%. Dan di tahun ini, tahun 2020 dari Direktorat Gizi Masyarakat menetapkan target capaian 2020-2024 untuk indikator kinerja gizi. Prevalensi stunting memiliki target capaian 2020 : 24,1%, 2021 : 21,1%, 2022 : 18,4%, 2023 : 16%, dan 2024 : 14%.

Data stunting sendiri berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) menunjukkan tahun 2015 balita usia 0-59 Bulan Gizi Pendek sebesar 18.9%, sangat pendek sebesar 10.1%, jumlah pendek + sangat pendek sebesar 29.0%. Tahun 2016 menunjukkan balita usia 0-59 Bulan Gizi Pendek sebesar 19.0%, sangat pendek sebesar 8.5%, jumlah pendek + sangat pendek sebesar 27.5% (Kemenkes, 2017). Tahun 2017 menunjukkan balita usia 0-59 Bulan Gizi Pendek sebesar 19.8%, sangat pendek sebesar 9.8%, jumlah pendek + sangat pendek sebesar 29.6% (Kemenkes, 2018).

Di satu sisi bila kita sadari feel terhadap pengambilan data untuk tinggi badan atau panjang badan sebagai petugas umumnya kita belum memiliki feeling soal ini. Maksudnya misalkan untuk berat badan yang sudah lama menjadi rutinitas petugas sebagai pemantauan pertumbuhan, petugas sudah terbiasa soal ini dan memiliki feeling soal ini. Petugas dengan mudah bisa menempatkan anak ini kelihatan memiliki berat badan yang kurang, tetapi untuk tinggi badan atau panjang badan misalnya petugas tidak serta dapat dengan melihat untuk menempatkan perkiraan bahwa anak ini pendek. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun