Kisah pengalaman mengajar saya di Hilimbuasi ini mewakili banyak kisah guru di Nias Selatan karena karakter siswa yang sudah lama tidak dijamah pengajaran dan pendidikan hampir sama di kabupaten ini. Rumit, hariku sulit. Langit biru bersembunyi, hujan enggan berhenti, banjir sana sini, emosi sulit dikendali, kain kering tinggal sepasang lagi, Â akhirnya menguatkan hati berkali-kali.
Saya pikir, saya sedang berbohong pada diri sendiri, berkata saya baik-baik saja meski sebenarnya jenuh dan dilema. Jenuh menghadapi siswa yang uniknya nomor juara.Â
Mengajar mereka tak lagi sama rasanya seperti triwulan sebelumnya. "Astina, pelosok Indonesia tidak butuh sarjana yang manja, ceritakan lelahmu setelah nanti anak didikmu jadi permata" kira-kira demikian suara hati yang memenuhi ruang kepala.
Saya  sudah hapal di luar kepala bagaimana mereka memukuli meja, bergendang di lemari, bersembunyi di laci, mematahkan kursi, merobek buku yang baru dibeli, tidur di lantai, menguap pagi-pagi, membuang kapur tulis, membasahi penghapus dan papan tulis, berteriak histeris, menertawai hal yang sebenarnya garing tiada duanya layaknya orang kesurupan, gentayangan di luar kelas pada jam pelajaran, berkerumun dengan bisingnya seperti aksi demo turunkan presiden, belum lagi kotoran Anjing yang tiap hari jadi penghuni gelap di kelas, ditambah suara bising renovasi dan pembangunan sekolah, lengkaplah sudah, SEMPURNA.Â
Tak jarang, kepala saya sakit menghadapi kelas yang sungguh berisik ini. Semua guru mengakui kedua kelas  ini kelas yang paling suka mengundang amarah di hati. Mau bagaimana lagi, guru lokal sangat jarang datang, akhirnya saya gabung kelas III dan IV, 26 siswa dengan 20 tingkat kemampuan berbeda, papan tulis terbagi.Â
Siswa belajar sesuai kemampuan diri, beberapa sudah tahap pembagian, beberapa tak kenal huruf sama sekali, beberapa lagi menulis angka dengan terbalik. Tetapi guru, harus lihai membagi cinta dan menata rapi pada puluhan hingga ratusan siswa yang silih berganti menetap di hati.
"Tidak ada siswa yang nakal, yang ada hanya guru yang gagal" gumamku menghibur diri.
Saya sangat percaya diri, suatu hari nanti rindu pada mereka ini akan berkepanjangan, entah apalagi yang pantas  saya keluhkan, bagiku mendidik mereka adalah sebuah kemewahan. Atau mungkin, mereka adalah salah satu alasan Tuhan agar saya berdoa tiap malam.Â
Benar saja, semenjak dengan rutinitas papan tulis terbagi, sayamenjadi pemijit kepala yang handal karena tak mungkin minum paracetamol 3x sehari dengan dosis tinggi. Saya menjadi terlatih meminimalisir kata TUNGGU pada anak agar saya tidak melewatkan sesuatu, mungkin saja cerita tentang neneknya yang punya Kerbau.Â
Saat ini mereka ahli membuat guru sakit kepala sekaligus mengernyitkan dahi karena tingkah yang terlalu. Sesekali saya tegaskan pada mereka kalau saya tidak baik-baik saja, tolong volume suara dan disiplin diri. Mengingat bahwa tetap saja mereka ini usia anak-anak, tak mungkin kelas saya sulap menjadi ruangan segi empat yang sunyi senyap.
Berbicara dengan diri sendiri alih-alih menyemangati, "saya tak ingin jadi guru yang dikalahkan keadaan, guru yang manja bukan kepalang, apalagi menjadi guru tanpa tujuan, anak muridku harus lulus ujian sekolah kehidupan, yang berkarya tanpa tapi tanpa banyak rebahan."