Warning keras: hanya untuk netizen yang mau membaca, bukan untuk netizen negara so so advanced +62 yang sangat malas membaca! Apabila anda merasa anda adalah orang yang sangat malas membaca, pergi dari artikel ini sekarang juga sebelum menciptakan hoaks atau salah terjemah!!!! Satu hal, mr.x bukan buzzer pemerintah dan mr.x tidak dibayar sepeserpun dibalik artikel ini, wahai netizen negara berflower dan so so advanced +62!Â
CATATAN PENULIS: PVK-19 adalah nama terjemahan Indonesia dari COVID-19 karena kepanjangan COVID-19 adalah COrona VIrus Disease-2019, dan kalau di Indonesia-kan akan menjadi Penyakit Virus Korona-19 atau sebutannya PVK-19/PeViKo-19.
"Belajar di rumah, Kerja di rumah, Ibadah di rumah" itulah kalimat yang diucapkan oleh presiden kita pertama mengumumkan "Social Distancing" ketika PVK-19. Ketika baru saja muncul penyakitnya, masyarakat saja sudah kepanikan dan memborong berbagai macam barang yang berhubungan pada kesehatan. Banyak sekali warga yang berteriak untuk meminta Presiden untuk segera melaksanakan "Lockdown" di media sosial, entah LINE Today, akun Instagram bapak presiden, atau berbagai macam platform situs web milik kantor berita(seperti Kompas, Detik, The Jakarta Post, dan lain sebagainya).Â
Ditambah dengan beberapa rakyat menganggap presiden kurang tegas dalam melakukan perintah mereka, bahkan sampai ada yang menciptakan sebuah "hiper-realitas"(akan dibahas) bahwa presiden memilih uang diatas kemanusiaan. Sedikit netizen yang mau membaca dan mengikuti apa kata pemerintah, karena begitulah rakyat Indonesia kebanyakan. Mau seenak sendiri dan hanya memikirkan kepentingan diri mereka sendiri tanpa berpikir panjang.
Apa itu hiper-realitas yang dikemukakan oleh Jean Baudrillad? Menurut Baudrillad, Simulasi adalah keadaan dimana representasi atau gambaran dari sebuah objek menjadi lebih penting daripada objek itu sendiri sedangkan Simulacra adalah sebuah duplikasi yang sebenarnya tidak pernah ada sehingga perbedaan antara duplikasi dan fakta menjadi kabur. Simulasi, Simulacra, dan Hiperealitas ini sudah melebur bersama di sela-sela kehidupan kita dan sedikit demi sedikit mengaburkan sisi yang nyata dari sosok kita sebagai makhluk hidup.
PVK-19 secara singkat merupakan sebuah fenomena medis-biologis dimana berawal dari sebuah kota bernama Wuhan, Tiongkok dimana akhirnya menjadi heboh setelah . Simulacra terhadap PVK-19 ini sangat berlebihan sampai ada yang mencocoklogikan ini dengan agama, disebutnya sebagai "Amarah dari Tuhan", "Hukuman Tuhan", dan lain sebagainya. Menciptakan sebuah hiper-realitas yang seolah penyakit ini adalah "Amarah dari Tuhan" untuk warga di Tiongkok, hanya karena penyakit ini berawal di Tiongkok. Bahkan ada yang menyatakan kalau, PVK-19 adalah semacam bio-weapon yang diciptakan di sebuah negara untuk menyerang negara lawannya.
Simulasi dari PVK-19 ini ialah penyakit ini dianggap penyakit yang sangat berbahaya dan mematikan padahal faktanya PVK-19 memiliki mortality rate yang cukup rendah, mungkin 2-4%. Tetapi, di Indonesia melonjak hingga 9,8%(196 dari 1986 kasus, per 3 April 2020), Italia mencapai 12,07%(13915 kematian dari 115242 kasus), dan India sudah mencapai 2,8%(72 dari 2567 kasus)(Sumber: Link). Jika dalam Indonesia, "kurang tegas"nya pemerintah dalam mengurus PVK-19 membuat masyrakat menciptakan berbagai macam "hiper realitas" yang menyebabkan masyarakat memiliki spekulasi yang tidak enak didengar bagi pemerintah.
PVK-19 memberikan sebuah dilema bagi Indonesia, sebagian rakyat dengan "Egois" dan "Sok" meminta presiden untuk cepat melakukan lockdown atau Karantina Wilayah tanpa berpikir panjang(dalam prespektif penulis). Sementara di daerah-daerah calon Karantina Wilayah ini, terutama Jakarta akan menderita akibat lockdown ini. Hanya karena Wuhan dan sebagian daerah berhasil melakukan ini tanpa melihat variabel keberhasilan lockdown ini, bukan berarti menjadi alasan bagi Indonesia untuk menjalankan kebijakan Karantina Wilayah dan tidak akan bisa menjadi alasan.
Amerika berani melakukan ini karena kas negaranya sangat banyak dan berlipat ganda jika dibandingkan dengan Indonesia, tidak ada data yang pasti karena penulis hanya menemukan bahwa mereka memiliki 3,706 Triliun Dollar Amerika atau setara dengan Rp. 61.649.310.000.000.000.00 (Enam Puluh Satu Ribu Kuadriliun(1 Kuadriliun = 1.000 Triliun) , Enam Ratus Empat Puluh Sembilan Triliun, Tiga Ratus Sepuluh Miliar Rupiah), APBN Indonesia hanya sekitar 2 kuadrilliun lebih(hanya 3%nya saja). Bahkan, menurut Ibu Sri Mulyani, kas negara hanya tinggal Rp. 100 Trilliun saja (link)
Namun di sisi lain, banyak rakyat yang juga tidak setuju dengan social distancing karena dianggap kurang efektif mengingat masyarakat Indonesia cenderung bersifat seenaknya dan "bandel bukan main". Serta mereka ingin Indonesia tidak memasukkan orang asing dulu dengan pemikiran "mencegah lebih baik daripada mengobati." Yang mungkin bagus namun eksekutornya(atau yang bilang ingin lockdown) lah yang salah. Atau entah karena kebencian mereka terhadap Tiongkok yang amat berlebih dan sekarang waktunya "balas dendam" dengan menyuruh pemerintah Indonesia melakukan lockdown.
Jokowi ditaruh di sisi di mana dia harus memilih salah satu dari dua keputusan yang tentu akan merugikan satu pihak yang berbeda di masing-masing keputusan ini. Jika dia mengambil lockdown, dalam waktu yang singkat stabilitas politik Indonesia akan turun drastis sebagai akibat dari "Kerusuhan Jakarta 2020" yang akan terjadi(JIKA dia mengambil LOCKDOWN sebagai jalannya), alhasilnya adalah Dollar Amerika akan semakin mahal untuk dikonversikan ke rupiah(sebagai akibat dari ketidakstabilan politik di Indonesia yang disebabkan oleh Lockdown) dan salah satunya, Jokowi akan diturunkan akibat demo tersebut dimana dia dianggap tidak baik dalam penanganan korona. Semua pasti akan berawal dari masyarakat kecil yang kelaparan sebagai akibat dari Lockdown dan makanan dan suplai lain tidak akan bisa masuk ke daerah yang dikarantina.
Ingat, lockdown itu semuanya dibekukan, termasuk arus suplai dan arus logistik. Di mana kalian yang di Jakarta atau kota besar yang tidak ada sawah dan kebun langsung stop pemasukan makanannya.
Jika Jokowi mengambil social distancing, Jokowi akan dianggap tidak tegas dan dibenci masyarakatnya juga. Namun, supply chain tetap berjalan sebagaimana semestinya dan tidak ada warga yang kelaparan karena tidak ada yang bergerak sama sekali. Ditambah dengan fakta belum tentu uang dan jumlah simpanan logistik negara Indonesia bisa  memberi makan 11 juta penduduk Jakarta, yang kurang lebih sama seperti Wuhan. Wuhan pada masa karantina juga mengalami ketidak stabilan politik akibat lockdown tiba-tiba dan agak tidak suka pada pemerintah karena terlalu "last minute" dalam menjalankan lockdown Wuhan ini.
Sub-Artikel: AKIBAT LOCKDOWNÂ
Apakah para netizen mengira dengan adanya LOCKDOWN, masalah penyebaran selesai? Lihat Italia dan India!
Video di atas menjelaskan seberapa BANDELnya Italia ketika lockdown terjadi, bukannya stay at home, malah pelesiran sana sini sampai wali kotanya pada marah-marah di video. Bagaimana mereka tidak marah? Warganya bandel sekali kok, Apalagi netizen negara so so advanced +62 yang terkenal dengan sifat bandel bukan mainnya itu. Penulis sangat sangat sangat yakin kalau jika terjadi lockdown, warganya tetap kumpul dan tetap keluar sebagaimana seharusnya bahkan mencurangi jam malam. Alhasil, ya virus korona tetap tersebar!!!
Lalu efek kedua adalah kelaparan hebat di beberapa kota sebagai akibat dari lockdown, di mana suplai tidak masuk ke jakarta dan beberapa kota lainnya. Walaupun penyebaran seharusnya tidak menyebar, bisa saja efek kelaparan hebat malah justru yang akan menghancurkan beberapa kota ke depannya dengan kerusuhan dan penjarahan, korona pun menyebar karena ramai demo. Ingat, indonesia tidak sehebat amerika, indonesia tidak bisa memberi makan orang-orang yang di lockdown begitu saja. Ini sama saja dengan menggali kubur sendiri dengan kerusuhan akibat kelaparan.
Gotong Royong? Yang kaya membantu yang miskin? Yang mampu membantu yang tidak mampu? Omong kosong! Dunia itu tidak sebaik yang ada di pikiran idealis para netizen, mau dipaksa sekalipun mereka belum tentu mau membantu. Ada yang membantu? Bagus, tandanya masih ada orang baik di dunia ini. Pertanyaannya adalah, "Seberapa banyak orang baik itu ada di dunia ini?". Kita semua tahu bahwa orang-orang yang mampu ini belum tentu dapat melakukannya. Alasan yang paling generik dan pastinya akan selalu dipakai adalah "Kasihan orang yang kerjanya harian".Â
Anda pusing, Pemerintah juga pusing
Jika para netizen berpikir presiden yang dihujat sama para netizen itu adalah presiden yang tidak tegas dalam mengurus korona hanya karena tidak melakukan lockdown maka kalian salah dan terlalu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Untung saja kepala Jokowi selalu dingin bagai angin segar di gunung dalam menangani berbagai macam kasus yang ada di depan matanya, tidak seperti warganya yang mudah panik setiap hari sampai memborong toko hanya demi suplai khusus menghadapi korona dan masyarakat sekarang dirumahkan sebagai akibatnya. Â
Keadaan ekonomi yang parah, jumlah kematian yang tinggi, dan rakyatnya yang selalu rusuh 24/7 tentu juga akan membuat seorang dengan kesabaran level Jokowi pun akan lepas kesabaran suatu hari. Ditambah dengan fakta, dia baru berduka atas kematian sang Ibunda tercintanya pada tanggal 25 Maret 2020, bisakah kalian sebagai netizen dan warga memberikan dia sebuah ruang untuk berduka hanya untuk sebentar saja? Karena Presiden bukan dewa dia juga seorang manusia, selayaknya kita. Ini yang mati masalahnya bukan istri, bukan anak, tapi seorang ibu yang beberapa dari kalian ejek ketika dia meninggal atau ejek ketika dulu Jokowi tengah bertugas sebagai presiden.Â
Coba para netizen lakukan ini,Â
"Taruh kaki kalian di sepatu Jokowi" (Try to put yourselves in Jokowi's shoes, sebuah kalimat ungkapan bahasa Inggris yang berarti 'coba taruh diri kalian di posisi orang yang dibicarakan')
Apakah para netizen bisa menahan pilu jokowi selama bertahun-tahun dihina oleh kalian, wahai netizen negara berflower dan so so advanced +62 yang sangat malas membaca, juga hobinya gosip, hoax, dan nyirnyir jokowi yang sangat teguh dan tidak "baperan" menghadapi bulan-bulanan para netizen yang jumlahnya lebih banyak daripada realitanya. Surga ada di telapak kaki ibu, tapi kok ibu orang lain diejek? Betul kata dosen penulis, tangan netizen lebih cepat daripada mata dan otak mereka.
Menjadi seorang presiden itu bagai main gin strategi yang berat, bukan hanya mobile legends(yang penuh dengan plagiarisme dan penunan kualitas demi "profit"), dan bisa saja catur dalam satu dua hal. Satu langkah saja salah, negaralah yang jadi kena efeknya dan akan berimbas pada dirinya sendiri dan rakyat. Ini kenapa jokowi menjadi seolah orang yang tidak tegas, karena tegas menurut para netizen adalah langsung lockdown dari januari tanpa pikir panjang apa konsekuensi dibalik ini. Yakni, kerusuhan, potensi rakyat yang tidak mau mengikuti perintah(para netizen negara berflower +62), dan berbagai lain hal.
Lockdown dan social distancing sama sama akan membuat korban jiwa dan ekonomi indonesia melemah secara signifikan sebagai efek dari pengambilan keputusan. Hasil dari kedua keputusan ini juga akan menentukan supply chain dan arus logistik bagi negara ini karena lockdown akan melumpuhkan semua untuk sementara waktu dan social distancing tetap menjalankan suplly chain. Ingat, indonesia punya berbagai macam kondisi sosial dan kondisi ekonomi di setiap tempatnya, jadi belum tentu lockdown adalah solusi utama bagi indonesia. Jika orang mulai kelaparan, mereka tidak akan berpikir logis lagi dan mulai menjarah demi mendapatkan makanan.
Mengembalikan Ekonomi itu bisa, namun mengembalikan orang itu tidak bisa? Oke, ini kalimat dari Presiden Ghana. Namun, negara mereka jika dibandingkan dengan Indonesia, jauh lebih kecil dan kontrolnya jauh lebih mudah serta mulut yang harus diberi makan oleh pemerintah Ghana tidak sebanyak orang Indonesia. Ujungnya sama saja bohong, kedua solusi ini sama sama men-drop ekonomi dan men-drop jumlah orang yang ada di dunia ini, hanya saja salah satu solusi lebih timpang daripada solusi yang lain yang timpangannya juga berbeda.
Tidak ada ketakutan yang ingin diciptakan dari ini, para netizennya saja yang terlalu paranoid terhadap COVID-19 atau PVK-19. Ini adalah situasi dimana "cepat mengambil keputusan" itu sangat sangat haram, bukan mau menggunakan, "Jangan sampe Indonesia jadi Italia II" sebagai alasan. Tapi, kembali di paragraf diatas, setiap langkah itu sangat penting.Â
Jangan pikirkan makanan gratis menunggu kalian, suplai Indonesia tidak akan pernah cukup untuk masyarakatnya yang jutaan, beda dengan Korea, Jepang, Italia, dan lain-lain yang jumlah orangnya lebih sedikit dari Indonesia atau Amerika yang jumlah budgetnya 30 kali atau lebih daripada Indonesia, budget (faktanya di atas, Sebetulnya penulis tidak tahu apakah kas Negara = 100 Triliun Rupiah atau 2,2 Ribu Trilliun Rupiah, tapi tergantung mana yang benar, statement 30x daripada Indonesia berlaku jika asumsi "2,2 Ribu Triliun Rupiah = kas negara" itu benar, jika tidak, maka berlipat ganda adalah jawabannya).Â
"Tidak ada mata uang yang lebih hebat daripada ketakutan, karena ketakutan adalah mata uang dari kekuasaan."(Suku Kalimat pertama bikinan penulis tapi suku kalimat kedua berasal dari sini)
Lihat video diatas dan cari pesannya yang menyatakan kalau netizen jangan teurs nyirnyir pemerintahan sekarang dan penulis punya alasan lain kenapa dia setuju dengan pernyataan dr. Tirta. Ada dua kota yang sekarang mulai pulih, yakni Wuhan dan Daegu. Penulis ingat kalau Daegu sempat parah karena korona namun perlahan dan pasti pulih karena rakyatnya yang patuh(tidak seperti netizen negara berflower dan so so advanced +62). Begitu pula dengan wuhan yang juga memang dari pemerintahnya agak kuat dan masyarakatnya tidak banyak yang berkomentar, sehingga dua negara ini bisa fokus penuh pada pemulihan.
Kalau melihat dua contoh diatas dan tiga contoh negara yang rakyatnya bandel bisa diambil kesimpulan kan? Kesimpulannya adalah rakyatnya juga yang berpengaruh dalam kontrol siklus perkembangan COVID-19, bukan hanya presiden atau pemerintah yang dibulan-bulankan oleh Netizen Negara Berflower +62 yang maha bandel bahkan sampai tetap mudik di tengah pandemi.
Ingat, sekarang bukan hanya presiden yang kerja, tapi rakyat, dokter, dan semuanya harus kerja sama dan laksanakan social distancing bagi yang perlu, yang ngak bisa, usahakan lakukan langkah preventif diluar dan jangan ganggu pemerintah dengan gugatan atau hal-hal tak penting. Ingat, kalian sendiri yang menentukan nasib kalian, bukan presiden, bukan tuhan, tapi kalian sendiri. Salah satu dosen penulis menyatakan, "hidup itu kita yang tentukan, tuhan hanya memberikan pilihan."
(Pesan untuk netizen yang sok: ingatlah bahwa, orang kalem atau yang tidak pernah marah, jika mereka marah, amarah mereka akan jauh lebih seram daripada orang yang marah-marah tiap hari dan biasanya dia serius dengan ucapan dia. Jangan sesekali buat orang kalem atau yang sama sekali tidak marah menjadi marah!)
(Sub artikel sampai disini)
Kunci penyembuhan korona ada di imunitas dan sebenarnya korona sendiri yang mati murni jauh jauh jauh lebih sedikit daripada yang sakit komplikasi lain seperti diabetes, darah tinggi, dan penyakit-penyakit lain yang berkontribusi dalam menurunkan daya tahan tubuh dari si penderita (Link).
Untung media arus utama di Indonesia tetap mencoba untuk menyampaikan informasi mengenai PVK-19 sewajarnya walaupun banyak kanal-kanal situs web yang membuat hoaks disana dan hoaks disini. Bahkan situasi Korona dijadikan ladang bisnis oleh beberapa kaum yang tidak bertanggung jawab. Jika kita menggunakan teori Lasswell, tentu akan ada umpan balik(atau with what efek) dalam wujud rasa tidak suka masyarakat terhadap presiden (Social Distancing) atau kerusuhan (lockdown) di dua keputusan yang akan diambil.
Bagi pembenci Jokowi, dua solusi yang sekarang ada untuk PVK-19 adalah diantara Lockdown dan Social Distancing. Masalah yang Jokowi dihadapi oleh pemerintah sekarang bukan masalah ekonomi lagi. Masalah yang Jokowi hadapi sekarang masalah logistik, masalah politik, Â dan masalah sosial. Serta, PVK-19 akan membuat semua keputusan Jokowi salah di mata sebagian publik, hanya saja mana yang memberikan konsekuensi yang lebih sedikit dan mana yang kerugiannya lebih sedikit .
Sebagian Refrensi: (Link)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI