Kebijakan yang diterapkan dalam perencanaan pembangunan nasional di Indonesia memiliki tujuan untuk pembangunan berkelanjutan yang sesuai dengan undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional[1]. Sustainable Development Goals (SDGs) Â merupakan suatu rencana aksi global yang disepakati oleh beberapa negara oleh para pemimpin dunia, salah satunya Indonesia yang diwakili oleh wakil presiden Indonesia pada tanggal 25 September 2015 di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). SDGs mengusung tema mengubah dunia kita: agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan berisikan 17 tujuan dan 168 target yang merupakan rencana aksi global dalam jangka waktu 15 tahun (2016-2030) guna merentas kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan[2].
Kekerasan pada perempuan, pelecehan perempuan, serta kurangnya dihargai perempuan menjadi isu di dunia dan politik yang sekarang menjadi topik hangat diberbagai hal layak.Â
Menurut data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)[3] ditahun 2020 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan menyentuh angka 299.911 kasus, Â kasus ini lebih sedikit 31% dibanding kasus pada tahun 2019 yaitu sebanyak 431.471 kasus.Â
Hal ini menimbulkan tanda tanya besar apa sebenarnya hak yang dimiliki perempuan untuk bisa mencapai 6 poin yang tertuang di dalam SDGs pada tujuan nomor 5, mulai dari mengakhiri bentuk diskriminasi pada perempuan, mengeliminasi segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, hingga memastikan bahwa semua perempuan dapat berpartisipasi penuh dan mendapat kesempatan yang sama pada berbagai level pengambilan keputusan dalam kehidupan.
Berbicara mengenai Hak asasi perempuan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM) dan sebagai sarana perubahan unutk mencapai kesetaran gender terutama bagi pemajuan perempuan memanglah menjadi suatu hal yang kompleks untuk dibicarakan. Kesetaraan gender sendiri merupakan salah satu hak asasi kita sebagai manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas menentukan pilihan hidup dan bebas dari ketakutan tidak hanya dimiliki oleh para laki-laki, pada hakikatnya perempuan pun memiliki hak yang sama.Â
Sosok perempuan yang berprestasi dan bisa berkarir tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai sosok Ibu di dalam keluarga menjadi sangat sulit ditemukan. Perempuan seringkali takut berkarir dikarenakan tuntutan sebagai Ibu rumah tangga. Data yang ada menunjukkan posisi laki-laki secara konsisten berada pada posisi lebih diuntungkan dari pada perempuan.
Sebagai contoh pola pernikahan dini yang di Indonesia menjasi suatu hal lazim, khususnya di daerah pedesaan. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2004 memperkirakan 13% dari perempuan indonesia menikah di umur 15-19 tahun[4]. Di dalam hukum islam, laki-laki memang diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu orang. Namun, Â dalam UU Perkawinan Tahun 1974 menyatakan bahwa izin untuk memiliki banyak istri dapat diberikan jika dapat memberikan bukti bahwa istri pertamanya tidak dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai istri.
Kemudian kesenjangan gender di dunia pekerjaan menjadi contoh adanya segmentasi perbedaan gender di angkatan kerja. Praktik penerimaan dan promosi karyawan yang membeda-bedakan atau diskriminatif membuat perempuan terfokus dalam sejumlah kecil sektor perekonomian. Asumsi masyarakat menilai bahwa pekerjaan perempuan hanya menjadi tambahan peran dan tambahan penghasilan, hal inilah yang menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan.
Tidak habis disitu, maraknya kekerasan fisik pada perempuan yang terjadi di Indonesia sehingga melahirkan berbagai undang-undang untuk melindungi perempuan. Namun, menurut survey demografi dan kesehatan 2003, hampir 25% perempuan yang pernah menikah membenarkan bahwa suami melakukan kekerasan kepada istri karena berbagai alasan contohnya perbedaan pendapat, istri pergi tanpa memberi tahu, istri mengabaikan anak, atau istri menolak melakukan hubungan intim dengan suami.
Perdagangan perempuan dan prostitusi juga merupakan ancaman serius yang ada di Indonesia, utamanya bagi mereka yang miskin dan kurang dalam hal pendidikan. Hak kepemilikan juga patut disinggung dalam hal ini, karena pada dasarnya perempuan mempunyai hak kepemilikan yang sama. Hak hukum untuk akses ke properti, tanah dan memiliki akses ke pinjaman bank, meskipun nyatanya masih ada diskriminasi di berbagai hal contohnya suami berhak memiliki nomor pajak pribadi, sedangkan istri harus dimasukkan dalam catatan pajak suami.Â
Untuk meningkatkan kesadaran perempuan akan isu kesetaraan gender ini serta mengedukasi pekerja perempuan mengenai hak-haknya, program kampanye Labour Rights for Women tidak henti-hentinya bersuara mengenai hak pekerja perempuan. Melalui event dan pelatihan dari lembaga pemerintah dan organisasi atau komunitas yang peduli dengan isu ini pasti akan menimbulkan dampak positif kedepannya bagi perempuan untuk mencapai kesetaraan gender.Â