Menjadi pembaca selama bertahun-tahun di Kompasiana, setidaknya membuat saya sedikit mengenal beberapa penulis yang tentunya tulisannya kerap bercokol di TA ataupun HL. Kompasiana bagi saya merupakan tempat kembali yang selalu saya rindukan tatkala saya berada di luar rumah. Sebagai pekerja kasar (bukan kantoran) saya hanya bisa membuka internet saat sudah di rumah, itupun kadang harus antre dengan anak-anak bergiliran  pegang komputer. Jadi boleh dibilang saat melepas, lelah setelah pulang bekerja, Kompasiana adalah teman terbaik hingga saat ini.
Namun sejak beberapa hari yang lalu minat untuk membuka Kompasiana agak sedikit menyusut dari keinginan menyusul adanya beberapa artikel balas membalas yang berbau dendam dari beberapa penulis. Tepatnya sejak ada ibu-ibu cantik yang berfoto selfi saat kopi darat dengan salah seorang kompasianer tenar Pakde Kartono. Sebenarnya tidak ada masalah andai foto-foto kopdar Pakde Kartono dan ibu-ibu sosialita nan cantik itu tak beredar di jagad medsos dengan kejamnya. Karena para kompasianer yang jeli dan cerdas akhirnya menghubungkan realita bahwa ibu-ibu itu kopdar dengan Pakde Kartono, dan hasilnya foto bersama seseorang yang pernah menghebohkan dunia hukum Indonesia, Gayus Tambunan-nara pidana dengan kasus Korupsi.
Bagi saya masa bodoh apakah Pakde Kartono itu Gayus atau bukan, yang membuat pikiran terusik sih, andai benar Pakde Kartono itu Gayus Tambunan kenapa bisa jalan-jalan bareng ibu-ibu cantik dan bisa setiap saat, setiap waktu menulis di Kompasiana dan itu berarti dia mempunyai akses internet dan gadged dengan bebasnya.
Selesai masalah bagi saya saat kemenkumham  turun tangan soal ini. Namun belum untuk beberapa postingan di Kompasiana. lalu terjadilah kegaduhan yang semakin hari semakin memanas saja antara penulis yang pro dan kontra terhadap Pakde Kartono.
Kegaduhan seperti ini bukan masalah baru di Kompasiana, jaman baheula ada soal Titi, penulis yang sempat dinominasikan sebagai penulis favorit di ajang Kompasianival, yang ternyata adalah penulis tak terferivikasi. Masalah sebenarnya sih saya kurang paham karena sebagai pembaca saya tak mau ambil pusing mengurusi hal-hal yang seperti itu. Saya lebih senang menghargai sebuah tulisan yang bisa bermanfaat bagi pembaca dan tak mempermasalahkan siapa yang menulis. Asalkan tulisan itu bermanfaat, menarik, inspiratif atau lebih-lebih lagi aktual, tentunya saya sangat menghargainya.
Kembali ke masalah Pakde Kartono yang kini sudah diperluas menjadi masalah orang-orang Planet Kenthir dan beberapa penulis yang menganggap penulis Planet Kenthir (PK) hanya komunitas penulis tak berguna.
Memang sih kalau kita hanya sekilas membaca, tulisan dari orang-orang yang menyebut dirinya kenthir itu memang tak bermanfaat, namun cobalah kita jujur sedikit dan mau menilai dengan seimbang, ada beberapa tulisan dari orang-orang PK yang bisa kita ambil hikmahnya. Seperti tulisan-tulisan Herry Fuk yang kini selalu bangga dengan taikebonya di dalam tulisan-tulisannya inspiratif. Saya tak perlu memberi tahu tulisan Herry mana yang inspiratif, karena hampir sebagian tulisan-tulisannya bagi saya sangat bagus. Lalu tulisan si onthel Bain Saptaman, yang menggelitik dan penuh kritikan. Cara kepenulisan Bain Saptaman pun sangat unik, Â berbeda dan susah ditiru oleh penulis lain.
Sayang karena Herry terkesan membela Pakde Kartono lalu munculah penulis-penulis yang tak setuju dengan cara Herry yang kemudian menyerang Herry dengan beberapa tulisan. Sebut saja Adhieyasa Adhieyasa dan Sayeed Kalba Saif yang saking gemasnya (bencinya?) hingga meminta admin Kompasiana untuk membubarkan Plane Kenthir.
Kembali pada saya yang hanya seorang penikmat tulisan di Kompasiana, sebenarnya permintaan Adhieyasa dan Sayeed ini kurang simpatik. Kita tahu Kompasiana itu welcame pada para penulis selama mereka sudah mendaftar dan menyebutkan dirinya sebagai kompasianer. Entah itu penulis baru belajar, atau yang sekelas wartawan kondang macam Linda Djalil. Semua bebas menulis, semua bebas mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran mereka selama tidak melanggar term dan condition yang telah ditetapkan Kompasiana.
Saya menilai penulis-penulis yang senang berkonflik sebut saja begitu-karena terkadang mereka tidak mengutamakan kebersamaan dan persaudaraan, yang mereka tonjolkan adalah kekuatan untuk melawan musuh yang tidak setuju dengan mereka- terlihat seperti arogan. Bahwa siapa yang tidak sepakat dengannya adalah musuh yang harus diberanggus dengan cara pengeroyokan di komen-komen sebuah tulisan musuhnya.
Terkadang saya puyeng, Kompasiana ini padang kurusetra atau rumah sehat penulis ya?. Sampai segitunya para penulis yang saya nilai cerdas, berpendidikan tinggi dan beretika itu memelihara sebuah permusuhan.Â
Sempat sih saya mendengar bisik-bisik dari teman yang mempunyai akun FB dan berteman dengan para kompasianer bahwa permusuhan di Kompasiana memang sengaja diadakan buat rating. Lah kalau itu saya tidak ingin berkomentar, saya kurang paham soal rating, dan saya tak peduli apakah rating Kompasiana bagus atau tidak karena di Kompasiana saya hanya pembaca yang sekarang tergelitik mengatakan apa yang ada di benak saya setelah menyaksikan pertandingan memabukkan para senior yang penuh dengan kata-kata yang tak selayaknya dibaca.
Seperti kita ketahui, pembaca Kompasiana bukan hanya manusia-manusia berumur (dewasa) saja, bahkan anak-anak seumuran SMA kini sudah mulai membaca Kompasiana, Mengapa saya tahu ini, saya pernah membaca salah satu artikel tentang komunitas Internet Sehat yang mengajak pada anak-anak usia sekolah untuk menulis dan berinternet sehat di Kompasaiana. Juga di Fiksiana yang sering mengadakan even dengan penulis-penulis muda untuk berfiksi. Atau penulis anak-anak dalam even cerita anak yang kemudian dibukukan. Itu artinya pembaca Kompasiana bukan hanya yang sudah berumur. Sudah bisa diperkirakan jika seseorang membuka Kompasiana akan membaca terlebih dahulu artikel yang diiklankan di wall. Entah itu yang HL, Nilai tertinggi atau Tren Di Google. Dan ndilalahnya artikel penuh sumpah serapah, caci maki, sindiran itu kerap nangkring di Nilai Tertinggi, yang sudah pasti membuat penasaran para pembaca, ya contohnya seperti aku, begitu klik keinginan membaca pasti muncul, setelah membaca artikelnya tentu berlanjut membaca komen. Sebenarnya minat hati membaca komen karena ingin mengetahui barangkali ada beberapa info tambahan dari penulis untuk menjawab pertanyaan pembacanya, namun apa lacur, komen-komen itu terkadang malah keluar dari jalur artikel yang tertulis. Untuk yang satu ini hanya satu komenku "bujubuneng"
Kembali lagi ke masalah saya sebagai pembaca yang menginginkan bahwa Kompasiana menjadi benar-benar rumah bersama, penulis baru, penulis senior, penulis cerdas atau penulis dengan tingkat kejeniusan yang rendah sekalipun. Â Selama artikel tulisannya bermanfaat kenapa tidak kita apresiasi.
Jadi berhentilah menciptakan kegaduhan yang tak bermanfaat itu, Kompasiana milik bersama, bukan milik penulis cerdas saja, milik penulis senior saja, atau penulis kenthir saja. Dan sebagai penghuni rumah entah itu tamu kaya saya, pengontrak, atau menetap seumur hidup marilah kita jaga bersama Kompasiana dari arena lempar-lemparan bola api yang tentunya nanti akan membakar kita semua.
Ini hanya sebagai uneg-uneg dari pembaca yang mungkin tak ada artinya dibanding dengan para penulis senior yang pintar, namun cobalah renungkan jika kalian punya hati nurani, bahwa perseteruan apapun itu tak ada yang menang, semua kalah, kalah sebagai manusia karena tak bisa menahan nafsu angkara, dan siapa yang menang? tentunya yang sering kita umpat saat marah, setaaaaaaaan.
Sekian dulu, salam persahabatan
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H