Bertahun-tahun lamanya istri menganggap jika batagor tidak enak rasanya. Kenapa tidak enak, pasti dia telah mencobanya. Momen pertama kali merasakan batagor adalah saat saya mengajaknya memakan siomay di alun-alun daerah Purbalingga, suatu kabupaten di Jawa Tengah.Â
Karena siomaynya sudah habis dan yang tersisa hanyalah batagor, akhirnya berubahlah rencana dari makan siomay menjadi batagor.
Permasalahannya adalah batagor yang kami makan ternyata rasanya jauh dari kata enak, amburadul. Celakanya batagor di alun-alun itulah batagor yang pertama kali dirasakan istri sepanjang hidupnya.Â
Selepas kejadian tersebut bertahun-tahun lamanya dia tidak pernah mau makan batagor. Pikirannya sudah mengasosiasikan jika batagor rasanya tidak enak.
Suatu saat entah bagaimana ceritanya dia memperoleh batagor made in Bandung. Timbul keinginannya untuk mencoba merasakan batagor tersebut.Â
Walhasil kemudian dia mencoba makan batagor tersebut (kedua kali dalam hidupnya) dan ternyata rasanya enak, jauh sekali dengan yang pertama kali dulu dirasakan. Sontak momen ini mengubah persepsinya akan rasa batagor dan menghilangkan halangan untuk menyantapnya di hari-hari berikutnya.
Hal yang mirip juga pernah saya alami sendiri. Sudah sejak lama jika petai adalah makanan favorit saya dari semenjak kecil. Namun demikian saya tidak pernah doyan jengkol meskipun sama-sama menghasilkan efek yang sama dalam bau.
Waktu remaja saya pernah mendapati ada jengkol di meja makan, lantas memakannya. Sama seperti batagor rasanya sangat tidak enak hingga saya keluarkan semua jengkol yang sudah saya kunyah di dalam mulut.
Setiap membeli nasi uduk saya selalu meminta agar penjualnya tidak memberikan semur jengkol, hanya tahu dan kentang saja. Beberapa bulan lalu saya minta orang untuk membelikan nasi uduk, dan lupa berpesan pada orang tersebut agar tidak usah dikasih jengkol. Saat nasi uduk datang, ternyata sudah ada jengkolnya, disamping semur tahu dan kentang.
Mengingat bentuk dan baunya terlihat menarik maka sebongkah jengkol itupun saya sikat. Wah ternyata rasanya enak, tidak kalah dengan petai. Sejak itu pula hingga sekarang saya mulai doyan jengkol baik saat makan nasi uduk maupun nasi angkringan dengan sate jengkol.
Untuk urusan makanan saja kita sering salah penilaian dan lantas mengeneralisasi pada semua jenis makanan yang sama. Sebagian mewakili semuanya, atau bahasa kerennya pars pro toto. Kesalahan ini bisa berlangsung bertahun-tahun lamanya seperti kisah batagor dan jengkol di atas.
Kalau salah penilaian hanya menyangkut makanan, yang dirugikan sih hanya kita sendiri. Namun bayangkan jika salah penilaian adalah menyangkut orang, ajaran, dan agama, tentu yang menderita kerugian akan sangat banyak.
Misalnya ada seorang penganut ajaran A (sebut saja Mr Y) membunuh sepuluh pemeluk ajaran B dengan senapan mesin saat mereka sedang beribadah. Dalam persidangan terungkap bahwa menurut pemahaman si pembunuh ini (akan ajaran A) mereka yang dibunuh (pemeluk ajaran B) adalah musuh-musuh yang harus dilenyapkan. Tindakan pembunuhan ini menurut Mr Y adalah dibolehkan dan akan mendapat ganjaran dari Tuhan.
Padahal sesungguhnya menurut para penganut ajaran A sesungguhnya pemahaman Mr Y adalah keliru dalam menafsirkan musuh yang harus dilenyapkan.Â
Namun karena tindakan Mr Y mengatasnamakan perintah ajaran A, maka banyak orang diluar penganut ajaran A yang mengalami phobia. Mereka kemudian menuding ajaran A penuh kekerasan, merasa terancam dengan keberadaan para penganut ajaran A.Â
Akibatnya para penganut ajaran A mendapatkan banyak perlakuan yang tidak mengenakkan, kadang pula kekerasan di banyak tempat. Hal ini bisa berlangsung bertahun-tahun yang merugikan banyak orang hanya gara-gara ulah Mr Y yang mengalami sesat pikir.
Oleh karenanya menjadi penting bagi kita untuk menjaga agar minimal kita bukan menjadi sumber kesalahan pemahaman bagi orang lain atas daerah darimana kita berasal, ajaran agama yang kita anut dan banyak hal lainnya yang melekat pada diri kita sebagai pribadi atau posisi kita di masyarakat. Â Para pendakwah pasti sangat paham akan hal ini.
Coba para pendakwah mengenalkan ajaran agamanya pada orang lain dengan mengatakan jika orang yang tidak mau mengikuti ajarannya pasti akan masuk neraka. Bagaimana orang akan simpatik dan tertarik kalau selalu ditakut-takuti masuk neraka, padahal kenal dengan ajaran agama si pendakwah saja belum.Â
Dan saat kemudian menjadi antipasti, maka jangan harap mereka akan memandang baik ajaran agama si pendakwah, mungkin malah selamanya akan memandang buruk kecuali tiba-tiba mendapat hidayah.
Para nabi adalah manusia yang sangat pandai dalam mengejawantahkan pars pro toto ini. Mereka berakhlak mulia, peduli sesama, dan menjadi tauladan bagi orang lain.Â
Melihat pribadi seorang nabi maka hanya kebaikanlah yang tampak. Dan diri seorang nabi sudahlah cukup untuk menggambarkan bahwa semua ajaran atau risalah yang dibawanya adalah kebaikan yang akan menuntun manusia pada jalan lurus, tanpa perdebatan.
Semoga kita tetap bisa menikmati batagor dan jengkol meskipun ada yang tidak enak rasanya, karena ternyata yang rasanya sangat enak jauh lebih banyak.
MRR, Bks-06/11/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H