Untuk urusan makanan saja kita sering salah penilaian dan lantas mengeneralisasi pada semua jenis makanan yang sama. Sebagian mewakili semuanya, atau bahasa kerennya pars pro toto. Kesalahan ini bisa berlangsung bertahun-tahun lamanya seperti kisah batagor dan jengkol di atas.
Kalau salah penilaian hanya menyangkut makanan, yang dirugikan sih hanya kita sendiri. Namun bayangkan jika salah penilaian adalah menyangkut orang, ajaran, dan agama, tentu yang menderita kerugian akan sangat banyak.
Misalnya ada seorang penganut ajaran A (sebut saja Mr Y) membunuh sepuluh pemeluk ajaran B dengan senapan mesin saat mereka sedang beribadah. Dalam persidangan terungkap bahwa menurut pemahaman si pembunuh ini (akan ajaran A) mereka yang dibunuh (pemeluk ajaran B) adalah musuh-musuh yang harus dilenyapkan. Tindakan pembunuhan ini menurut Mr Y adalah dibolehkan dan akan mendapat ganjaran dari Tuhan.
Padahal sesungguhnya menurut para penganut ajaran A sesungguhnya pemahaman Mr Y adalah keliru dalam menafsirkan musuh yang harus dilenyapkan.Â
Namun karena tindakan Mr Y mengatasnamakan perintah ajaran A, maka banyak orang diluar penganut ajaran A yang mengalami phobia. Mereka kemudian menuding ajaran A penuh kekerasan, merasa terancam dengan keberadaan para penganut ajaran A.Â
Akibatnya para penganut ajaran A mendapatkan banyak perlakuan yang tidak mengenakkan, kadang pula kekerasan di banyak tempat. Hal ini bisa berlangsung bertahun-tahun yang merugikan banyak orang hanya gara-gara ulah Mr Y yang mengalami sesat pikir.
Oleh karenanya menjadi penting bagi kita untuk menjaga agar minimal kita bukan menjadi sumber kesalahan pemahaman bagi orang lain atas daerah darimana kita berasal, ajaran agama yang kita anut dan banyak hal lainnya yang melekat pada diri kita sebagai pribadi atau posisi kita di masyarakat. Â Para pendakwah pasti sangat paham akan hal ini.
Coba para pendakwah mengenalkan ajaran agamanya pada orang lain dengan mengatakan jika orang yang tidak mau mengikuti ajarannya pasti akan masuk neraka. Bagaimana orang akan simpatik dan tertarik kalau selalu ditakut-takuti masuk neraka, padahal kenal dengan ajaran agama si pendakwah saja belum.Â
Dan saat kemudian menjadi antipasti, maka jangan harap mereka akan memandang baik ajaran agama si pendakwah, mungkin malah selamanya akan memandang buruk kecuali tiba-tiba mendapat hidayah.
Para nabi adalah manusia yang sangat pandai dalam mengejawantahkan pars pro toto ini. Mereka berakhlak mulia, peduli sesama, dan menjadi tauladan bagi orang lain.Â
Melihat pribadi seorang nabi maka hanya kebaikanlah yang tampak. Dan diri seorang nabi sudahlah cukup untuk menggambarkan bahwa semua ajaran atau risalah yang dibawanya adalah kebaikan yang akan menuntun manusia pada jalan lurus, tanpa perdebatan.