Banyak orang yang merasa bahwa dengan mengurusi dirinya sendiri saja sudah cukup untuk menyelamatkan hidupnya kelak di akhirat. Sehingga banyak kita temui orang-orang dengan keilmuan yang dianggap tinggi malah menepi ke pinggiran, ke tempat-tempat kesunyian menghindari hiruk pikuk dunia. Seringkali kita menjulukinya mereka sebagai kaum sufi, pertapa, dll.
Ketakutan terhadap dunia menyebabkan mereka meninggalkan interaksi dengan manusia, pekerjaan bahkan keluarga.
Dengan meninggalkan keduniaan maka interaksi dengan Tuhan dianggap tidak ada yang mengganggu dan menghalangi. Mereka bisa leluasa dalam beribadah tanpa khawatir atas godaan dan gangguan dunia.
Namun apakah kemudian kehidupan seperti itu yang dianjurkan untuk dijalankan?
Kehidupan yang mungkin penuh dengan kesalehan namun hanya berguna bagi diri sendiri, atau kesalehan individualistik. Tidak peduli dengan orang lain.
Menurut mereka, orang lain mau melakukan apapun terserah saja, bebas, selama tidak mengganggu ketaatan kita pada Tuhan.
Barangkali kesalehan individual ini yang bisa menjelaskan fenomena dimana negeri Indonesia yang katanya penuh dengan orang-orang baik, orang alim, taat beribadah namun perilaku korupsi, maksiat masih banyak terjadi dan jumlahnya tidak pernah berkurang. Banyak dari kita menganggap dengan menjadi saleh secara pribadi itu sudah cukup.
Biarlah orang lain berbuat jahat, berperilaku korup, melegalkan maksiat asalkan kita masih bisa beribadah dan taat pada Tuhan maka tidak perlu kita urusin, begitu kira-kira pandangan kaum saleh individualistik.
Bahkan sekedar mengingatkan pada orang lain akan perbuatan tidak baik yang mereka jalankan pun tidak berani, atau mendoakan agar kembali ke jalan yang lurus juga tidak.
Kalau memang kesalehan individualistik ini baik, maka seharusnya nabi yang pertama kali akan menjalankannya. Nyatanya para nabi dan sahabat-sahabatnya, para ulama, tidak pernah bersikap individualistik dan mencari kesalehan untuk diri sendiri.Â
Mereka selalu berinteraksi dengan manusia-manusia lainnya, menyebarkan risalah kenabian dan ilmu yang dipunyai pada orang lain. Karena fitrah manusia itu adalah makhluk sosial yang harus berinteraksi dengan orang lain.Â